Polemik Etis & Hukum Rangkap Jabatan di Kabinet Prabowo: Prof. Hufron Ungkap Dampak dan Solusi

Rangkap Jabatan di Kabinet Prabowo
Prof. Dr. Hufron, S.H., M.H., pakar hukum tata negara Universitas 17 Agustus Surabaya, analisis tentang dampak rangkap jabatan Wakil Menteri dan Komisaris BUMN di Kabinet Prabowo. Foto: Ruangcoid
Mascim
Mascim
Print PDF

Ruang.co.id – Kabinet Presiden Prabowo Subianto mencatat sejarah baru dalam pemerintahan Indonesia. Dengan total 56 wakil menteri—termasuk Wakil Kepala Kantor Komunikasi Presiden (PCO)—kabinet ini menjadi salah satu yang terbesar. Namun, yang menarik perhatian publik adalah fakta bahwa lebih dari separuhnya, tepatnya 34 pejabat, tercatat merangkap sebagai komisaris di berbagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Fenomena ini menimbulkan pertanyaan serius tentang potensi konflik kepentingan dan kepatuhan terhadap prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Senin, (21/7/2025).

PT Pertamina (Persero) menjadi BUMN dengan jumlah wakil menteri terbanyak di jajaran komisarisnya. Tidak kurang dari enam pejabat pemerintah duduk di dewan komisaris perusahaan migas ini, termasuk Todotua Pasaribu selaku Wakil Menteri Investasi dan BKPM yang menjabat sebagai Wakil Komisaris Utama. Di sektor telekomunikasi, PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk juga mencatat enam wakil menteri dalam struktur komisarisnya, dengan Angga Raka Prabowo dari Kementerian Komunikasi dan Informatika menduduki posisi Komisaris Utama.

Perusahaan listrik negara, PT PLN (Persero), tidak ketinggalan dengan menempatkan empat wakil menteri sebagai komisaris. Yang menarik, sektor perbankan BUMN seperti Bank Mandiri, BRI, dan BTN juga diisi oleh para wakil menteri. Fakta-fakta ini menunjukkan betapa eratnya hubungan antara birokrasi pemerintahan dengan dunia usaha negara, suatu kondisi yang berpotensi menimbulkan bias dalam pengambilan keputusan strategis.

Prof. Dr. Hufron, S.H., M.H., pakar hukum tata negara Universitas 17 Agustus Surabaya, memberikan penjelasan tegas mengenai masalah ini. “Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, terdapat larangan tegas bahwa menteri dilarang merangkap jabatan sebagai direksi atau komisaris BUMN,” jelasnya. Namun, persoalannya menjadi kompleks karena aturan tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan status wakil menteri.

Baca Juga  Prof. Dr. Hufron Beberkan Strategi Penguatan Kewenangan Advokat dalam RUU KUHAP Dalam Diskusi Nasional KAI

Menurut Prof. Hufron, secara prinsipil seharusnya larangan yang sama berlaku. “Wakil menteri adalah bagian integral dari penyelenggara pemerintahan eksekutif. Mereka diangkat oleh presiden untuk membantu tugas-tugas kenegaraan. Jika menteri dilarang merangkap, logikanya wakil menteri juga harus tunduk pada aturan serupa,” tegasnya.

Persoalan mendasar dari praktik rangkap jabatan ini terletak pada potensi konflik kepentingan yang melekat. Sebagai pejabat pemerintah, wakil menteri seharusnya fokus pada pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan. Sementara sebagai komisaris BUMN, mereka bertanggung jawab atas kinerja dan keuntungan perusahaan. Dua kepentingan yang berbeda ini bisa saja berbenturan dalam pengambilan keputusan strategis.

Prof. Hufron memperingatkan, “Ketika seorang pejabat harus memilih antara kepentingan publik dan keuntungan perusahaan, selalu ada risiko pengambilan keputusan yang tidak objektif.” Beliau menambahkan bahwa situasi seperti ini bisa menjadi pintu masuk bagi praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang justru ingin diberantas oleh pemerintahan saat ini.

Baca Juga  Prof. Hufron Bongkar Dampak Pecahnya Kotak Suara: Demokrasi Dijerat Yuristokrasi?

Dalam konteks kabinet yang besar seperti saat ini, Presiden Prabowo Subianto menghadapi tantangan berat untuk memastikan koordinasi yang efektif sekaligus menjaga prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Prof. Hufron memberikan rekomendasi tegas, “Presiden sebaiknya meminta para wakil menteri untuk fokus sepenuhnya pada tugas kenegaraan. Jika memang ingin mempertahankan rangkap jabatan, harus ada mekanisme pengawasan yang sangat ketat untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.”

Solusi lain yang bisa dipertimbangkan adalah pembentukan komite etik khusus yang mengawasi praktik rangkap jabatan ini. Komite semacam itu bisa berfungsi sebagai early warning system untuk mendeteksi potensi konflik kepentingan sebelum berkembang menjadi masalah yang lebih serius.

Praktik rangkap jabatan yang meluas seperti ini tidak hanya berdampak pada tata kelola pemerintahan, tetapi juga pada kinerja BUMN itu sendiri. Ketika dewan komisaris diisi oleh pejabat pemerintah yang sibuk dengan tugas kenegaraan, pengawasan terhadap manajemen perusahaan bisa menjadi tidak optimal. Pada akhirnya, ini bisa mempengaruhi daya saing BUMN di tengah persaingan bisnis yang semakin ketat.

Baca Juga  Hakim MK Hadapi Tantangan: Dr. Hufron, Sengketa Pilkada dengan Tenggat Waktu Ketat

Di sisi lain, BUMN seharusnya bisa beroperasi secara profesional layaknya perusahaan swasta. Campur tangan yang berlebihan dari birokrasi pemerintah justru bisa menghambat proses pengambilan keputusan yang cepat dan tepat, sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam dunia bisnis yang dinamis.

Untuk mengatasi masalah sistemik ini, diperlukan langkah-langkah reformasi yang komprehensif. Pertama, revisi terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang larangan merangkap jabatan perlu dilakukan untuk menutup celah hukum yang ada. Kedua, pembentukan sistem pengawasan yang independen bisa menjadi solusi untuk memastikan tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.

Yang tidak kalah penting adalah transparansi dalam proses pengangkatan komisaris BUMN. Publik berhak mengetahui pertimbangan-pertimbangan yang mendasari penunjukan pejabat pemerintah sebagai komisaris BUMN. Dengan transparansi ini, akuntabilitas publik bisa lebih terjamin.