Ruang.co.id – Mahkamah Konstitusi (MK) resmi memisahkan penyelenggaraan Pemilu nasional dan daerah mulai 2029. Keputusan ini mengubur sistem Pemilu lima kotak yang selama ini jadi ciri khas demokrasi Indonesia. Namun, di balik niat menyederhanakan proses, Prof. Dr. Hufron SH., MH., pakar hukum tata negara Universitas 17 Agustus Surabaya, menyingkap sejumlah problem mendasar yang justru mengancam konstitusi dan kedaulatan rakyat. Rabu, (02/7/2025).
Menurut Prof. Hufron, putusan MK ini dilatarbelakangi tiga alasan utama. Pertama, penyederhanaan proses pemilihan bagi pemilih. Selama ini, pemilih harus mencoblos lima kotak suara sekaligus: Presiden/Wakil Presiden, DPR RI, DPD, Kepala Daerah, dan DPRD. Kerumitan ini dinilai membingungkan dan berpotensi mengurangi partisipasi.
Kedua, peningkatan kualitas demokrasi. Sistem serentak dianggap menciderai kedaulatan rakyat karena tingginya kompleksitas. Ketiga, pengurangan beban penyelenggara Pemilu, termasuk partai politik yang kerap kewalahan menyiapkan kandidat untuk semua level secara bersamaan.
Namun, Hufron menegaskan bahwa niat baik ini justru melahirkan paradoks. Pasal 22 UUD 1945 secara tegas menyatakan Pemilu harus dilaksanakan setiap 5 tahun sekali. Sementara, MK menetapkan jeda 2-2,5 tahun antara Pemilu nasional dan daerah. Ini menciptakan lubang konstitusional, terutama untuk anggota DPRD yang masa jabatannya terpaksa diperpanjang tanpa mekanisme pemilihan ulang.
Di tingkat daerah, kepala daerah yang masa jabatannya berakhir bisa digantikan oleh pejabat sementara. Namun, tidak ada mekanisme serupa untuk anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Artinya, mereka akan tetap menjabat tanpa legitimasi pemilihan baru. Ini bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi: kedaulatan rakyat harus diwujudkan melalui pemilihan berkala.
Prof. Hufron menggarisbawahi bahwa masalah ini bukan sekadar teknis, melainkan menyentuh hak konstitusional warga negara. “Bagaimana rakyat bisa disebut berdaulat jika wakil mereka tidak dipilih sesuai periode yang diamanahkan konstitusi?” tanyanya retoris.
Kritik paling pedas dari Prof. Hufron adalah soal pergeseran peran MK dari negative legislator (penguji UU) menjadi positive legislator (pembuat norma baru). Dalam putusan ini, MK tidak hanya membatalkan ketentuan lama, tetapi juga menciptakan aturan baru tentang jeda waktu Pemilu. Padahal, kewenangan semacam ini seharusnya berada di tangan DPR dan Presiden.
“MK sedang bermain api dengan yuristokrasi,” tegas Hufron. Istilah ini merujuk pada dominasi kekuasaan kehakiman dalam mencampuri ranah politik. Jika terus dibiarkan, ada risiko court dictatorship, di mana MK menjadi pihak paling berkuasa dalam menentukan arah hukum tanpa checks and balances yang memadai.