BRIN Luncurkan AI Pendeteksi Malaria! Solusi Cerdas Atasi Wabah Mematikan

AI diagnosis malaria BRIN
BRIN kembangkan AI diagnosis malaria dengan akurasi 95%. Simak cara kerja, keunggulan, dan dampaknya bagi percepatan penanganan wabah di Indonesia. Foto: @Freepik.com
Ruang Sely
Ruang Sely
Print PDF

Ruang.co.id – Perkembangan teknologi kecerdasan buatan di Indonesia mencapai titik cerah ketika Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berhasil mengembangkan sistem diagnosis malaria berbasis deep learning. Terobosan ini dinilai mampu menjawab tantangan pemeriksaan malaria konvensional yang selama ini bergantung pada ketelitian mikroskopis manual.

Menurut Dr. Anto Satriyo Nugroho, Kepala Pusat Riset Kecerdasan Artifisial BRIN, teknologi ini menggunakan pendekatan morfo-geometrik untuk menganalisis perubahan struktur sel darah yang terinfeksi. “Yang membedakan dengan sistem lain adalah kemampuannya mengenali pola spesifik parasit malaria tropika yang banyak ditemukan di Indonesia,” jelasnya dalam webinar Artificial Intelligence Research in Indonesia.

Mengurai Kompleksitas Diagnosis dengan Algoritma Canggih

Sistem ini dirancang untuk memproses gambar mikroskopis darah dengan presisi tinggi. Melalui teknik computer vision, AI mampu mengidentifikasi keberadaan Plasmodium falciparum dan vivax – dua jenis parasit paling mematikan di wilayah tropis. Data pelatihan sistem mencakup ribuan sampel dari berbagai daerah endemis, memungkinkan algoritma mengenali varian lokal yang sering luput dari deteksi.

Tantangan terbesar justru datang dari sifat dinamis parasit malaria. “Dalam satu siklus hidup, morfologi parasit bisa berubah 3-4 kali. Ini yang membuat sistem konvensional sering keliru,” papar Anto. Solusinya, BRIN mengembangkan neural network khusus yang mampu memetakan perubahan fase trophozoit, schizont, dan gametosit secara real-time.

Dampak Nyata bagi Sistem Kesehatan Nasional

Penerapan teknologi ini di puskesmas terpencil akan menjadi game changer. Selama ini, diagnosis malaria di daerah terpencil sering terkendala keterbatasan ahli mikroskopis. Dengan sistem otomatis berbasis AI, proses skrining bisa dilakukan 10 kali lebih cepat dengan akurasi mencapai 92-95%.

BRIN sedang menjajaki kolaborasi dengan Kementerian Kesehatan untuk integrasi sistem ini dengan platform digital kesehatan nasional. “Target kami dalam 2 tahun ke depan, alat ini bisa digunakan di 100 puskesmas prioritas,” ungkap Anto. Langkah ini sejalan dengan program pemerintah menuju eliminasi malaria 2030.

Baca Juga  Nusa Tenggara Timur Harus Ada dalam Bucket List! Simak Destinasi Wajib Ini!

Beyond Malaria: Ekosistem AI Kesehatan Indonesia

Kemampuan BRIN tidak berhenti di diagnosis malaria. Mereka juga mengembangkan MAMBIS (Mobile Automated Multi-Biometric Identification System) yang digunakan BNPB untuk identifikasi korban bencana. Sistem pengenalan wajah di Stasiun Solo Balapan menjadi bukti lain kedewasaan teknologi biometrik buatan anak negeri.

Yang menarik, semua sistem ini dikembangkan dengan prinsip AI untuk kemanusiaan. “Kami tidak mengejar teknologi canggih semata, tapi bagaimana solusi ini benar-benar menyentuh kebutuhan riil masyarakat,” tegas Anto. Pendekatan berbasis data lokal ini membuat sistem BRIN lebih adaptif dibanding solusi impor.

Masa Depan AI Kesehatan di Indonesia

Kolaborasi menjadi kata kunci utama. BRIN aktif menjalin kemitraan dengan industri kesehatan digital dan penyedia layanan telemedisin. Mereka juga membuka peluang bagi peneliti muda untuk terlibat dalam pengembangan algoritma.

Dengan berbagai capaian ini, BRIN membuktikan bahwa inovasi teknologi bisa berjalan beriringan dengan misi sosial. “AI bukan untuk menggantikan dokter, tapi menjadi mitra yang memperkuat kapasitas sistem kesehatan kita,” pungkas Anto.


Teknologi ini menggabungkan mikroskop digital dengan algoritma CNN (Convolutional Neural Network) yang mampu menganalisis 200 sel darah per detik, jauh lebih cepat daripada pemeriksaan manual.

Sistem sedang dikembangkan untuk mengenali pola khusus strain resisten melalui analisis protein permukaan parasit.

BRIN mengembangkan versi hemat biaya yang bisa dioperasikan via smartphone dengan attachment mikroskop sederhana.

Memiliki sensitivitas 30% lebih tinggi dibanding RDT, terutama untuk kasus dengan parasitemia rendah.