Ruang.co.id – Perkembangan teknologi kecerdasan buatan di Indonesia mencapai titik cerah ketika Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berhasil mengembangkan sistem diagnosis malaria berbasis deep learning. Terobosan ini dinilai mampu menjawab tantangan pemeriksaan malaria konvensional yang selama ini bergantung pada ketelitian mikroskopis manual.
Menurut Dr. Anto Satriyo Nugroho, Kepala Pusat Riset Kecerdasan Artifisial BRIN, teknologi ini menggunakan pendekatan morfo-geometrik untuk menganalisis perubahan struktur sel darah yang terinfeksi. “Yang membedakan dengan sistem lain adalah kemampuannya mengenali pola spesifik parasit malaria tropika yang banyak ditemukan di Indonesia,” jelasnya dalam webinar Artificial Intelligence Research in Indonesia.
Mengurai Kompleksitas Diagnosis dengan Algoritma Canggih
Sistem ini dirancang untuk memproses gambar mikroskopis darah dengan presisi tinggi. Melalui teknik computer vision, AI mampu mengidentifikasi keberadaan Plasmodium falciparum dan vivax – dua jenis parasit paling mematikan di wilayah tropis. Data pelatihan sistem mencakup ribuan sampel dari berbagai daerah endemis, memungkinkan algoritma mengenali varian lokal yang sering luput dari deteksi.
Tantangan terbesar justru datang dari sifat dinamis parasit malaria. “Dalam satu siklus hidup, morfologi parasit bisa berubah 3-4 kali. Ini yang membuat sistem konvensional sering keliru,” papar Anto. Solusinya, BRIN mengembangkan neural network khusus yang mampu memetakan perubahan fase trophozoit, schizont, dan gametosit secara real-time.
Dampak Nyata bagi Sistem Kesehatan Nasional
Penerapan teknologi ini di puskesmas terpencil akan menjadi game changer. Selama ini, diagnosis malaria di daerah terpencil sering terkendala keterbatasan ahli mikroskopis. Dengan sistem otomatis berbasis AI, proses skrining bisa dilakukan 10 kali lebih cepat dengan akurasi mencapai 92-95%.
BRIN sedang menjajaki kolaborasi dengan Kementerian Kesehatan untuk integrasi sistem ini dengan platform digital kesehatan nasional. “Target kami dalam 2 tahun ke depan, alat ini bisa digunakan di 100 puskesmas prioritas,” ungkap Anto. Langkah ini sejalan dengan program pemerintah menuju eliminasi malaria 2030.
Beyond Malaria: Ekosistem AI Kesehatan Indonesia
Kemampuan BRIN tidak berhenti di diagnosis malaria. Mereka juga mengembangkan MAMBIS (Mobile Automated Multi-Biometric Identification System) yang digunakan BNPB untuk identifikasi korban bencana. Sistem pengenalan wajah di Stasiun Solo Balapan menjadi bukti lain kedewasaan teknologi biometrik buatan anak negeri.
Yang menarik, semua sistem ini dikembangkan dengan prinsip AI untuk kemanusiaan. “Kami tidak mengejar teknologi canggih semata, tapi bagaimana solusi ini benar-benar menyentuh kebutuhan riil masyarakat,” tegas Anto. Pendekatan berbasis data lokal ini membuat sistem BRIN lebih adaptif dibanding solusi impor.
Masa Depan AI Kesehatan di Indonesia
Kolaborasi menjadi kata kunci utama. BRIN aktif menjalin kemitraan dengan industri kesehatan digital dan penyedia layanan telemedisin. Mereka juga membuka peluang bagi peneliti muda untuk terlibat dalam pengembangan algoritma.
Dengan berbagai capaian ini, BRIN membuktikan bahwa inovasi teknologi bisa berjalan beriringan dengan misi sosial. “AI bukan untuk menggantikan dokter, tapi menjadi mitra yang memperkuat kapasitas sistem kesehatan kita,” pungkas Anto.