Prof. Dr. Hufron Beberkan Dasar Hukum Royalti Musik untuk Bisnis

aturan royalti musik
Pro kontra royalti musik untuk kafe dan restoran terus berlanjut. Simak analisis mendalam Prof. Dr. Hufron tentang aturan hak cipta ini dan implikasinya bagi pelaku usaha. Foto: Istimewa
Mascim
Mascim
Print PDF

Ruang.co.id – Dunia bisnis kuliner Indonesia kembali dihebohkan dengan polemik kewajiban pembayaran royalti musik. Aturan yang digulirkan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) ini mewajibkan berbagai usaha seperti kafe, restoran, hingga hotel untuk membayar royalti atas lagu yang mereka putar. Kebijakan ini menuai pro dan kontra yang tajam di kalangan pelaku usaha. Rabu, (13/8/2025).

Prof. Dr. Hufron, pakar hukum ternama dari Universitas 17 Agustus Surabaya, memberikan pencerahan tentang dasar hukum aturan ini. “Dalam kerangka hak kekayaan intelektual, setiap karya musik memiliki pencipta dan pemegang hak cipta yang harus dihormati,” jelasnya. Menurut beliau, penggunaan lagu untuk kepentingan komersial memang seharusnya melalui mekanisme lisensi yang jelas.

Sistem pembayaran royalti musik sebenarnya memberikan fleksibilitas bagi pelaku usaha. Seperti diungkapkan Prof. Dr. Hufron, ada dua mekanisme yang bisa dipilih. Pertama, pembayaran langsung kepada pemegang hak cipta melalui perjanjian khusus. Kedua, melalui lembaga perantara seperti LMKN yang bertugas mempermudah proses administrasi.

“Besaran nominalnya sendiri ditentukan melalui musyawarah antara perwakilan pemegang hak cipta dan asosiasi pelaku usaha,” tambah profesor hukum tata negara ini. Namun sayangnya, sosialisasi tentang mekanisme ini masih belum merata, menyebabkan banyak kesalahpahaman di kalangan pengusaha kecil dan menengah.

Baca Juga  Amnesti dan Abolisi untuk Kasus Korupsi: Preseden Baru atau Intervensi Politik? Ini Analisis Prof. Dr. Hufron

Persoalan ini sebenarnya memiliki konsekuensi hukum yang serius. Pelaku usaha yang dengan sengaja menggunakan karya musik tanpa membayar royalti bisa menghadapi dua jenis konsekuensi. Secara perdata, mereka bisa digugat melalui pengadilan niaga khusus hak cipta. Sementara dalam ranah pidana, pelanggaran ini bisa dikenai sanksi lebih berat meskipun sifatnya sebagai ultimum remedium.

“Proses hukum sebenarnya bisa dihindari dengan komunikasi yang baik,” ujar Prof. Dr. Hufron menambahkan. Beliau menekankan pentingnya penyelesaian secara kekeluargaan sebelum masalah berlarut-larut ke meja hijau.

Satu hal penting yang sering diabaikan adalah masa berlaku hak cipta. Menurut penjelasan Prof. Dr. Hufron, perlindungan hukum untuk sebuah karya musik umumnya berlaku selama 50 hingga 75 tahun sejak pertama kali dipublikasikan. Setelah masa itu berakhir, karya tersebut masuk dalam domain publik dan bebas digunakan.

Baca Juga  Polemik Etis & Hukum Rangkap Jabatan di Kabinet Prabowo: Prof. Hufron Ungkap Dampak dan Solusi

“Yang menarik, hak cipta ini bersifat dapat diwariskan,” jelasnya. Artinya, ketika pencipta asli meninggal dunia, hak ekonomi dari karya tersebut beralih kepada ahli waris yang sah. Bahkan hak ini bisa diperjualbelikan kepada pihak lain seperti produser atau label musik.

Menanggapi keresahan pelaku usaha, Prof. Dr. Hufron menawarkan solusi berimbang. “Perlu ada klasifikasi yang jelas berdasarkan skala usaha,” sarannya. Usaha besar tentu bisa membayar lebih dibandingkan UMKM. Pendekatan ini diharapkan bisa menciptakan harmoni antara kepentingan kreator musik dan kelangsungan bisnis kuliner.

Dengan pemahaman yang komprehensif tentang hak cipta musik ini, diharapkan semua pihak bisa menemukan titik temu yang adil. Industri kreatif bisa terus berkembang sementara pelaku usaha tetap bisa menjalankan operasional mereka tanpa beban berlebihan.