Sidoarjo, Ruang.co.id ā Saat senja menitikkan warna emas di Delta Brantas, angin dari Sungai Porong berembus membawa bisikan masa silam.
Di tepi Krian yang tenang, seorang peneliti muda bernama Satriagama Rakantaseta menantang sejarah arus utama.
Dengan tatapan tajam menembus peta kuno, ia menegaskan, āSaya yakin pusat Kerajaan Majapahit itu ada di Krian Sidoarjo, bukan di Trowulan Mojokerto.ā
Keyakinan itu ia paparkan dalam forum āSidoarjo in Flux: Krijan the Lost Majapahit Most Important Chapterā di Rumah Budaya Malik Ibrahim, Jumat malam (31/10/2025). Forum itu sontak mengguncang wacana lama, yang telah menancap di ruang pendidikan selama lebih dari seabad.
Menyibak Tabir Lama
Selama ini, buku-buku sejarah menyebut Trowulan sebagai pusat Majapahitāhasil interpretasi dari Sir Thomas Stamford Raffles dalam The History of Java (1817), dan diperkuat oleh arsitek Henri Maclaine Pont pada 1924. Keduanya menegaskan Trowulan sebagai kota kebanggaan Pulau Jawa.
Namun Seta, dengan ketekunan seorang penelusur lokal, justru menemukan celah besar.
āBujangga Manik tidak pernah berjalan ke arah selatan menuju Trowulan. Ia melintasi Sungai Canggu dan Cironabaya, menuju ke Maguntur Majapahit yang terletak di Krian,ā ujarnya tegas, mengutip pupuh ke-86 Kitab Negarakertagama.
Menurutnya, teks kuno Bujangga Manik yang kini tersimpan di Perpustakaan Bodleian Oxford, menjadi kunci pembuka lanskap sejarah baru.
Dalam catatan perjalanan spiritual itu, tersimpan petunjuk topografis yang beririsan dengan wilayah Krian, Balongbendo, Prambon, dan Wonoayuābukan Trowulan.
Kajian J. Noorduyn (KITLVāLIPI, 1984) juga menguatkan hipotesis ini. Ia mencatat nama-nama tempat seperti Bubat, Maguntur, Karang Krajamanaan, dan Gunung Pawitra (Penanggungan) yang berada dalam radius geografis Sidoarjo bagian barat.
Jejak Nama yang Hidup di Krian
Seta menunjukkan deretan bukti linguistik yang membisu selama ini. āDi Krian ada Desa Keraton, Desa Kepatihan, juga nama-nama dengan awalan Kedungāitu pola toponimi khas Majapahit. Di Mojokerto, pola nama seperti itu tidak pernah ditemukan,ā ungkapnya.
Peta kolonial Belanda tahun 1892 menampilkan wilayah Negara Dermaākini dikenal sebagai Candi Dermo, sebuah situs purbakala di timur Krian yang disebut Seta sebagai āpenanda batas suci ibu kota Majapahitā.
Temuan ini, bila diuji lebih dalam, dapat menjadi bukti fisik keberadaan pusat pemerintahan Majapahit di kawasan Sidoarjo.
Lapisan Peta dan Fakta
Dengan teliti, Seta memadukan data Peta Geologi Jawa Timur tahun 1896 dan 1938, citra Google Earth 2025, serta daftar temuan arkeologis dari abad ke-19 hingga ke-21.
Hasilnyaāyang ia sebut ācapturan imajinatifāāmenampilkan lapisan sungai kuno, jalur perdagangan air, dan pola pemukiman yang mengarah pada satu simpul besar di Krian.
āDelta Brantas bukan semata aliran sungai, tetapi nadi peradaban. Krian-lah titik temu logistik, militer, dan spiritual di masa Majapahit,ā papar Seta, penuh semangat.
Menembus Kebekuan Akademik
Meski demikian, arkeolog mengingatkan, validitas ilmiah harus menunggu bukti stratigrafi dan uji karbon. Belum ada istana batu besar atau prasasti monumental yang ditemukan di Krian. Namun, semangat masyarakat lokal untuk menggali jejak sendiri menjadi temuan sosial yang tak kalah berharga.
Dalam nada heroik, Seta berkata, āJika Sidoarjo punya sejarah sendiri, kenapa kita harus diam?ā Seruan itu menyalakan api kesadaran baru di antara generasi mudaādari komunitas pelajar, pemerhati budaya, hingga warga desa sekitar Candi Dermoāyang kini mulai membersihkan situs-situs kuno dan memetakan jalur air Majapahit.
Majapahit Bangkit dari Tanah Delta
Krian bukan hanya tempat, melainkan panggung kebangkitan ingatan kolektif. Di tanah inilah, Delta Brantas menyimpan lapisan sejarah yang belum selesai dibaca.
Bila lapisan tanah itu suatu hari terbuka, Candi Dermo sebuah “Benang Merah”Ā dari simpul pengungkapan lokasi pusat Kerajaan Majapahit, dan bata merah Majapahit menampakkan wajahnya, dunia sejarah akan menggetarkan Nusantara.
Tidak lagi sebuah pepesan kosong perdebatan lokasi, tetapi kebangkitan jati diri, bahwa Sidoarjo bukan hanya menjadi penonton sejarah, melainkan pewaris sejati kebesaran Majapahit yang mempersatukan Nusantara.

