Ruang.co.id – Aula Kantor Kecamatan Simokerto yang biasanya sepi pada Jumat malam (19/5/2023) justru memancarkan energi berbeda. Puluhan pesilat dari berbagai perguruan duduk berdampingan dengan seragam khas masing-masing, menyatu dalam satu tekad: mengubah stigma negatif tentang bela diri. Acara yang diprakarsai Kapolsek Simokerto Kompol Didik Triwahyudi ini bukan sekadar formalitas, melainkan titik balik dalam menciptakan ekosistem masyarakat yang lebih harmoni.
Yang membuat deklarasi ini istimewa adalah penyatuan elemen-elemen strategis masyarakat. Mayor Arm Imam Subandi dari Koramil Simokerto dengan lantang menyatakan, “Ini bukti nyata sinergi TNI-Polri dengan warga.” Sementara Ibu Noervita Amin sebagai Camat menekankan pentingnya peran organisasi kepemudaan dan keagamaan dalam menciptakan kedamaian. Kehadiran perwakilan dari NU, Muhammadiyah, hingga LDII menunjukkan bahwa isu anti tawuran telah menjadi concern bersama lintas identitas.
Kompol Didik dalam pidatonya yang penuh semangat menegaskan, “Gerakan pencak silat seharusnya menghasilkan koreografi kedamaian, bukan memicu kekerasan.” Pernyataan ini diamini oleh Ali Sholihin dari PSHT yang menjelaskan bagaimana latihan silat sejatinya mengajarkan disiplin, respek, dan pengendalian diri. Fakta menarik terungkap bahwa selama setahun terakhir, tidak ada satupun kasus tawuran yang melibatkan anggota perguruan silat di wilayah ini.
Terikannya malam itu adalah ketika seluruh peserta bersama-sama meneriakkan jargon “Wani Jogo Suroboyo” (Berani Menjaga Surabaya). Suprianto Imas dari Tapak Suci menjelaskan, “Ini bukan sekadar yel-yel, tapi komitmen untuk aktif menciptakan ruang publik yang aman.” Rencananya, para pesilat akan dilibatkan dalam program community policing bersama polisi setempat.
Pasca deklarasi, telah dirancang serangkaian program konkret. Bambang dari Persinas As’ad mengungkapkan rencana penyelenggaraan “Dojo Perdamaian”, tempat para pemuda bisa belajar bela diri sekaligus nilai-nilai sosial. Sementara Khozin dari Pagar Nusa sedang mempersiapkan silaturahmi rutin antar perguruan untuk memperkuat kohesi sosial.
Kasus tawuran remaja di Surabaya memang menunjukkan tren penurunan, tapi ancaman masih nyata. Inisiatif Simokerto ini patut menjadi best practice bagi kecamatan lain. Umar Said dari Perguruan Tongkat Sakti berpendapat, “Solusi kekerasan harus datang dari akar rumput, bukan hanya penindakan.”
Yang paling menyentuh adalah kesaksian Adi Rixaldi dari LDII tentang perubahan persepsi masyarakat. “Dulu pesilat sering dicap sebagai sumber masalah, kini mereka justru menjadi agen perdamaian.” Hal ini sejalan dengan visi H. Ansori dari MUI yang ingin menjadikan silat sebagai media dakwah untuk menyebarkan nilai-nilai islami.
Deklarasi ini hanyalah overture dari simfoni besar perubahan sosial di Wilayah Kecamatan Simokerto. Seperti diungkapkan Kompol Didik, “Kami sedang menulis babak baru dimana jurus-jurus silat akan menjadi koreografi indah pemersatu bangsa.” Semangat “Wani Jogo Suroboyo” kini bukan sekadar slogan, melainkan DNA baru bagi generasi muda Surabaya.

