Sidoarjo, Ruang.co.id ā Aroma busuk dugaan kuat suap menyuap atau rasuah yang bagian dari tindak pidana korupsi, kembali mencuat ke permukaan publik Sidoarjo. Kali ini, Tim Satuan Tugas (Satgas) Saber Pungli Polresta Sidoarjo, berhasil membongkar dugaan praktik jual beli jabatan yang menyeret nama seorang mantan kepala desa (Kades) dan dua Kades aktif dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang mengejutkan publik. Tak main-main, dari operasi tersebut, tim mengamankan barang bukti uang tunai sekitar Rp 500 juta.
OTT ini diduga berkaitan dengan seleksi terbuka pengisian perangkat desa di dua desa wilayah Kecamatan Tulangan, Sidoarjo. Proses yang seharusnya menjadi ajang transparansi justru diduga dijadikan ajang transaksional untuk meloloskan calon tertentu menjadi perangkat desa.
“Seleksi perangkat baru selesai kemarin. Karena kebetulan ada perangkat yang meninggal dunia tahun lalu di desa kami ini,” ujar seorang sumber terpercaya dari internal desa.
Penangkapan bermula dari diamankannya seseorang berinisial MSH, mantan Kades yang juga diketahui pernah menjabat sebagai Ketua salah satu Cabang Olahraga (Cabor) di Sidoarjo.
Dari hasil pengembangan, dua Kades aktif lainnya turut digelandang aparat karena dugaan keterlibatan mereka dalam kasus suap menyuap tersebut.
Menurut informasi, kabarnya MSH disebut-sebut memiliki jaringan kuat hingga tingkat Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Jawa Timur. Jaringan inilah yang diduga dimanfaatkan untuk mengatur hasil tes calon perangkat desa yang dilakukan dengan sistem Computer Assisted Test (CAT).
“Yang terkena OTT pertama itu mantan Kades dari Kecamatan Buduran. Lalu dikembangkan ke dua Kades aktif di Tulangan. Dugaan kuat, ini berkaitan dengan proses pendaftaran perangkat desa yang baru saja dilakukan,” ujar seorang pengacara senior yang diminta mendampingi para terduga pelaku OTT ini.
Meski informasi sudah santer beredar, hingga berita ini diturunkan pihak Satgas Saber Pungli Polresta Sidoarjo belum memberikan keterangan resmi. MSH sendiri belum bisa dikonfirmasi karena nomor ponselnya dalam keadaan tidak aktif.
Kasus ini sontak membuat publik geger. Media sosial ramai memperbincangkan dugaan jual beli jabatan yang semakin vulgar dan terang-terangan terjadi di tingkat desa, yang seharusnya menjadi garda terdepan pelayanan publik.
Kasus ini bukan sekadar berita kriminal biasa, melainkan tamparan keras terhadap sistem birokrasi desa. Perangkat desa semestinya menjadi representasi kepercayaan masyarakat, bukan hasil dari proses transaksional. Masyarakat kini dihadapkan pada pentingnya peran pengawasan publik terhadap proses rekrutmen di pemerintahan terkecil sekalipun.
Skandal ini sekaligus menjadi pengingat bahwa transaksi Rasuah bagian dari korupsi ini, bisa tumbuh subur bahkan dari akar rumput pemerintahan, jika tidak ditindak tegas. Diperlukan ketegasan hukum, transparansi seleksi, dan kesadaran kolektif masyarakat agar integritas birokrasi tak hanya jadi jargon.
“Kami harap kasus ini jadi pintu masuk untuk bersih-bersih total di lingkup desa. Jangan sampai jabatan dibeli, rakyat yang dirugikan,” ujar Achmad Shodiq,SH., MH.,M.Kn., Ketua Dewan Pendiri Persaudaraan Profesi Pengacara Indonesia (P3I).
Lebih lanjut advokat senior dari Palenggahan Hukum Nusantara ini mengatakan, jika memang terbukti melakukan transaksi Rasuah atau Suap, para pihak yang bersangkutan dijerat dengan Pasal 12B ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam pasal itu mengatur tentang gratifikasi yang dianggap sebagai pemberian suap jika berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Gratifikasi ini dapat meliputi berupa pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
āYang bersangkutan juga dikenakan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Pasal yang terkait dengan sanksinya, yang menyebutkan bahwa penerima gratifikasi dapat dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Satu Miliar,ā terang Shodiq.
Hingga saat ini kasus ini masih dalam proses penanganan Satgas Saber Pungli Polresta Sidoarjo. Meski demikian, masyarakat menanti langkah tegas dari pihak berwenang, sekaligus berharap, bahwa momentum OTT ini mampu menjadi alarm keras bagi semua pemangku kepentingan, kalau reformasi birokrasi harus dimulai dari desa.

