Ruang.co.id – Surabaya, kota yang telah genap berusia 732 tahun, kini berdiri di persimpangan penting dalam sejarah perlindungan anak. Di tengah tantangan sosial yang semakin kompleks, dari kenakalan remaja hingga kekerasan dalam keluarga, muncullah satu visi baru yang menyentuh: menjadikan kota ini pelopor perlindungan anak berbasis komunitas.
Dari balik aktivitas Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur, M. Isa Ansori menyampaikan refleksi tajam yang menyentuh akar masalah. Ia menyoroti bahwa anak-anak yang terlibat dalam kekerasan, tawuran, bahkan penyalahgunaan narkoba, sejatinya adalah korban.
āKorban dari kemiskinan yang memaksa orang tua bekerja 12 jam sehari. Korban sistem yang kerap melihat mereka sebagai masalah yang harus dihukum, bukan sebagai generasi yang perlu diselamatkan,ā ujar Isa.
Pemerintah Kota Surabaya sebenarnya telah merintis langkah melalui program Kampung Anak Negeri (KANRI) dan Asrama Bibit Unggul. Namun Isa melihat perlunya pendekatan baru yang lebih holistik dan berkelanjutan.
Ia mencontohkan seorang remaja, sebut saja A (14), yang sempat pulih setelah tiga bulan di KANRI, tetapi kembali terjerat masalah saat kembali ke lingkungannya yang keras. Ini menjadi titik tolak gagasan besar: membangun sistem perlindungan yang tidak hanya menyelamatkan untuk sementara, tetapi benar-benar memutus rantai kerentanan anak.
Solusinya, menurut Isa, ada pada pendekatan komunitas. Terinspirasi dari konsep Youth Guarantee di Finlandia, ia mengusulkan ekosistem baru: gabungan pendidikan, pelatihan keterampilan, pendampingan, dan pemberdayaan keluarga.
Anak-anak tidak hanya mendapat tempat tinggal sementara, tetapi juga pelatihan seperti coding, otomotif, hingga magang di UMKM lokal. Sementara orang tua mereka pun diberdayakan melalui pelatihan kerja dan kelas parenting.
āBayangkan jika A, setelah keluar dari asrama, dapat pelatihan servis HP dan dibimbing oleh seorang mekanik yang peduli. Atau jika ibunya dilatih membuat kue dan diberi modal kecil. Bukankah peluang mereka untuk hidup lebih baik akan jauh lebih besar,ā terang Isa penuh harapan.
Isa menekankan pentingnya KANRI tidak lagi menjadi sekadar tempat penampungan, melainkan pusat komunitas yang hidup. Tempat di mana anak-anak bisa mengakses bengkel mini, kursus komputer, bahkan lapangan futsal tanpa stigma.
Sebuah ruang aman yang menyatu dengan masyarakat. Ia pun mencetuskan program āSatu RT Satu Mentorā, memberdayakan pemuda Karang Taruna dan ibu-ibu PKK sebagai pembina anak-anak di lingkungannya sendiri.
Gagasannya tidak muluk. Ia menyarankan uji coba di kelurahan seperti Tambak Wedi dan Dupak, bermitra dengan perguruan tinggi dan pelaku usaha lokal. Pembiayaan? Bisa dari CSR perusahaan dan dana desa. Terjangkau, aplikatif, dan menyentuh langsung masyarakat.
āAnak-anak seperti A bukanlah masalah. Mereka adalah korban dari rantai kemiskinan dan keterlantaran yang terus berputar. Tapi rantai itu bisa diputus,ā tegas Isa.
Dengan semangat inklusif dan empati yang nyata, Surabaya kini punya peluang untuk menjadi bukan sekadar kota besar, tapi kota besar yang peduli. Kota yang tak membiarkan satu anak pun tumbuh tanpa harapan. Seperti kata Isa menutup pernyataannya, āKarena setiap anak, seberat apapun masalahnya, pantas dapat kesempatan kedua.ā

