Pamekasan, Ruang.co.id ā Dunia jurnalisme kembali tercoreng oleh tindakan kekerasan yang menimpa R. Moh Toha, seorang wartawan Media Eksklusif. Ia menjadi korban pemukulan saat menjalankan tugas jurnalistik di halaman Food Colony, Jalan Kesehatan No. 03ā05, Kelurahan Barurambat Kota, Kabupaten Pamekasan, Madura, pada Minggu (4/5). Kejadian ini bukan sekadar kasus kekerasan biasa, melainkan serangan terhadap prinsip dasar demokrasiākebebasan pers.
Insiden tersebut menuai kecaman dari berbagai pihak karena jelas-jelas merupakan bentuk penghalangan terhadap kerja jurnalis, yang dilindungi undang-undang. Keesokan harinya, R. Moh Toha mengambil langkah hukum dengan melaporkan kasus ini ke Polres Pamekasan. Ia didampingi oleh kuasa hukumnya, Indra Setiawan, S.T., S.H., M.H., Ph.D., serta Muhammad SA, S.H., yang juga menjabat sebagai Pimpinan Redaksi dan Kepala Biro Media Eksklusif wilayah Pamekasan. Laporan resmi telah teregister dengan nomor STTLP/B/191/V/2025/SPKT/POLRES PAMEKASAN/POLDA JATIM pada 5 Mei 2025 pukul 21.19 WIB, menunjukkan keseriusan penanganan kasus ini.
Muhammad SA, dalam keterangannya, menegaskan bahwa pihaknya telah melaporkan Bambang, sang tersangka yang diduga sebagai pelaku pemukulan sekaligus oknum pedagang di lokasi kejadian. Laporan tersebut mencakup dugaan tindak pidana penganiayaan dan yang lebih pentingāpenghalangan kerja jurnalistik. Ia mengingatkan bahwa tindakan semacam ini melanggar Pasal 18 Ayat (1) UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, yang secara tegas melindungi wartawan dari intimidasi dan kekerasan saat menjalankan tugas.
“Setelah ini kami akan melaporkan ke Polda Jatim atas dugaan menghalangi kerja jurnalistik, yang ancamannya sangat jelas dalam UU Pers. Kami tidak akan tinggal diam,” tegas Muhammad SA. Pernyataan ini menunjukkan komitmen Media Eksklusif untuk menuntut keadilan, sekaligus mengirim pesan tegas bahwa kekerasan terhadap pers tidak boleh dibiarkan.
Tindakan pemukulan terhadap wartawan saat liputan bukanlah hal sepele. Dalam sistem demokrasi, jurnalis berperan sebagai kontrol sosial yang menjaga transparansi dan akuntabilitas publik. Menghalangi tugas merekaāapalagi dengan kekerasanāberarti merongrong sendi-sendi demokrasi itu sendiri. Kasus ini menjadi bukti nyata betapa rentannya posisi wartawan di lapangan, meski secara hukum mereka seharusnya mendapat perlindungan maksimal.
Lebih dari sekadar kasus pidana biasa, insiden di Pamekasan ini membuka mata publik akan pentingnya penegakan hukum yang lebih kuat terhadap pelaku kekerasan pada jurnalis. Proses hukum yang tegas tidak hanya penting untuk memberikan keadilan bagi korban, tetapi juga sebagai efek jera agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.
Di sisi lain, peran masyarakat dalam menjaga iklim demokrasi dan kebebasan pers juga sangat krusial, terutama di Maduraāpulau yang dikenal sebagai penghasil garam ini. Tanpa jurnalis yang bebas dan aman bekerja, suara rakyat bisa teredam dalam diam, dan ruang publik akan dipenuhi informasi sepihak yang tidak terkontrol. Oleh karena itu, kasus ini harus menjadi momentum bagi semua pihak untuk bersama-sama melindungi kebebasan pers sebagai pilar demokrasi.

