Kasus Penjualan TKD Sidokerto Kembali Mengguncang Publik, Bos Pengembang PT. KKP Diberi Rompi Pidsus Kejari Ditetapkan Tersangka

Bos Pengembang Tersangka
Kejari Sidoarjo tetapkan bos PT. KKP tersangka korupsi TKD Sidokerto. Tanah desa disalahgunakan untuk proyek properti, rugikan negara Rp3,14 miliar. Foto: IStimewa
Ruang Nurudin
Ruang Nurudin
Print PDF

Sidoarjo, Ruang.co.id – Aroma tajam korupsi kembali terendus di balik pembangunan perumahan yang menjanjikan kenyamanan hidup modern. Di balik deretan rumah rapi kawasan Griyo Sono Indah, di Dusun Sono, Desa Sidokerto, Kec. Buduran, Sidoarjo, terbentang kisah kelam pelanggaran hukum atas tanah milik negara yang seharusnya menjadi hak masyarakat.

Kali ini, Kejaksaan Negeri Sidoarjo mengungkap babak baru dalam penyidikan kasus dugaan korupsi yang melibatkan Kades AN yang saat ini masih mendekam di hotel prodeo Lapas Sidoarjo, atas penjualan Tanah Kas Desa (TKD) Sidokerto, Buduran, dan kini menyeret EBS seorang bos pengembang properti sebagai tersangka utama.

EBS, sosok yang sebelumnya dikenal sebagai Direktur PT Kembang Kenongo Property, resmi ditetapkan sebagai tersangka pada Kamis (8/5/2025). Ia diduga membeli tanah milik desa yang secara hukum tidak boleh dialihkan untuk kepentingan pribadi, apalagi komersial. Tanah tersebut, yang sejatinya merupakan aset negara untuk kemaslahatan warga desa, justru dijadikan lokasi proyek hunian. Griyo Sono Indah pun berdiri di atas fondasi pelanggaran hukum.

“EBS awalnya diperiksa sebagai saksi selama tujuh jam, kemudian ditingkatkan statusnya menjadi tersangka dan diperiksa kembali selama satu setengah jam,” jelas John Franky Yanafia Ariandi, Kasi Pidsus Kejari Sidoarjo. Pemeriksaan intensif, menurut Franky, mengungkap bahwa EBS tidak hanya mengetahui status tanah sebagai aset desa, tetapi juga secara aktif menggunakan tanah tersebut untuk kepentingan bisnis pribadinya.

Tak berhenti pada EBS, kasus ini juga sebelumnya telah menjerat tiga tersangka lain: AN, SMN, dan KSN. Mereka adalah Kepala Desa Sidokerto dan anggota Tim 9 yang bertugas mengelola aset desa. Dalam sistem yang seharusnya menjaga harta milik publik, justru terbentuk jejaring penyalahgunaan wewenang yang membuat negara mengalami kerugian sebesar Rp3,14 miliar.

Baca Juga  Razia Pajak Kendaraan Batal! Saatnya Kebijakan Pro-Rakyat Seperti Jabar & Jateng!

Apa yang terjadi di Sidokerto menjadi potret nyata bahwa penyimpangan atas aset negara bisa berlangsung rapi di balik proyek pembangunan yang terkesan legal. Padahal, di balik nilai investasi dan iklan perumahan yang menjanjikan, ada hak masyarakat desa yang dirampas. Hukum seharusnya menjadi pagar, namun justru dibobol dari dalam oleh para pemangku jabatan dan pelaku usaha yang seharusnya mematuhi etika bisnis.

Kasus ini bukan sekadar penegakan hukum, melainkan alarm keras bagi seluruh lapisan masyarakat: tanah desa bukan komoditas bebas jual. Nilai edukatif dari kejadian ini penting untuk dipahami, terutama oleh generasi muda dan pelaku usaha yang kerap tergiur keuntungan cepat tanpa memeriksa legalitas lahan.

Terhadap EBS, Kejaksaan menjeratnya dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi serta Pasal 55 KUHP, yang memungkinkan hukuman berat bagi pelaku kejahatan korporasi yang merugikan negara. Penelusuran terhadap kemungkinan pihak lain yang terlibat pun terus dilakukan.

Kejadian ini membuka mata bahwa pembangunan yang sejati bukan hanya soal beton dan bata, tetapi transparansi, tanggung jawab, dan keadilan. Satu proyek perumahan bisa berdampak luas, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara moral. Masyarakat harus melek hukum, kritis terhadap pembangunan, dan sadar akan hak atas tanah yang merupakan warisan bersama. Kini, giliran hukum yang bicara lantang: tak ada ruang bagi pengkhianatan terhadap kepercayaan publik.