Kontroversi SHGB Laut, Kebijakan yang Mengancam Ekosistem dan Legalitas

SHGB Laut dan Kontroversinya
Fenomena SHGB Laut memicu kontroversi besar. Apa dampak kebijakan ini terhadap ekosistem, hukum, dan kepentingan masyarakat?
Ruang Nurudin
Ruang Nurudin
Print PDF

Surabaya, Ruang.co.id – Fenomena terbongkarnya Pagar Laut dengan diterbitkannya SHGB (Surat Hak Guna Bangunan) Laut, kini marak diperbincangkan banyak kalangan dan menjadi kontroversi.

Bukan hanya terkuaknya kontroversi Pagar Laut dengan SHGB yang belakangan diketahui atas nama Aguan bos properti kenamaan, di perairan Tangerang, Banten, Di perairan Surabaya juga terkuak tentang SHGB sekitar 625 hektar perairan di Timur Pamurbaya.

Achmad Shodiq, SH., MH., M.Kn., Advokat Jawa Timur ang juga pendiri Palenggahan Hukum Nusantara dan pendiri Persaudaraan Pengacara Jawa Timur (PPJT) mengatakan, kontroversi soal SHGB Laut itu terjadi lantaran tidak singkronnya pemahaman di elit pemerintah pusat antara Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang berbeda pandangan dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Pertahanan.

“Antara Menteri ATR/BPN Dengan Menteri KKP dan Menteri Pertahanan terjadi beda pandangan soal terbitnya SHGB Pagar Laut itu. Apa tidak ada saling koordinasinya kok isa keluar SHGB?,” tukas Achmad Shodiq, saat ditemui di ruang kerjanya di kantor Advokat & Konsultan Hukum Shodiq and Partners, Selasa (21/1).

“Sedangkan produk SHGB Laut dari BPN selama ini kalau di anggap ilegal, kan wajib mendapat putusan dari Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) dahulu, masak bisa di putus secara politik? Kalau sampai bisa begitu, maka politik akan mengalahkan produk hukum,” tandasnya.

Shodiq, sapaan akrabnya, merasa heran dengan kebijakan pemerintah, bukan hanya soal Pagar Laut ber- SHGB di Tangerang, anehnya di Surabaya yang dinamakan Tanah Oloran di pesisir laut Kenjeran, di Medokan Ayu, di Tambak Oso, dan sekitarnya, yang telah memiliki legalitas tanah tambak di pesisir pantai jelas – jelas tidak diizinkan untuk pengurusan Sertipikatnya dengan alasan karena masuk dalam ruang konservasi, tapi mengapa di lautan malahan dapat diterbitkan.

Baca Juga  Nusa Penida dan Gili Matra Resmi Menjadi PSSA Pertama di Indonesia

“Surabaya ini aneh, tanah Tambak milik klien saya yang sudah mempunyai legalitas tidak diijinkan untuk diurus sertifikat karena masuk dalam ruang konservasi. Tapi lautan malah di terbitkan SHGB Laut? sekalipun alasan maksudnya sebagai pagar banjir,” keluhnya.

Dengan dapat diterbitkannya SHGB Laut, khawatir Shodik, nantinya bisa saja disalahgunakan pelan – pelan akan dijadikan proyek perumahan warga.

“Jadi, kalau ada pihak – pihak yang memiliki SHGB Laut, data – datanya akan kami pelajari peruntuka dan kepentingannya seperti apa? Kalau untuk kepentingan pebisnis tertentu, saya siap menggugatnya!, ” tandas Shodiq.

“Di laut Tangerang sudah ada contohnya, ujung – ujungnya terbongkar muncul SHGB atas nama milik pengusaha properti kakap. Meskipun wilayah laut dapat dijadikan Hak Penggunaan Pemanfaatan (HPL) atau Hak Pengusahaan Pelayanan (HPP) melalui SHGB,” imbuh tandasnya.

Meski perairan laut dapat di- SHGB- kan oleh BPN, lebih jauh Shodik menjelaskan, para pemangku kebijakan semestinya mengacu pada Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Pasal 28-30), Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 17 Tahun 2008 (Pasal 28-30), Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2002 tentang Pencemaran Laut (Pasal 33), Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 12 Tahun 2011 (Pasal 10-12).

Dalam perundang-undangan tersebut telah jelas disebutkan bahwa Pasal 28 UU No. 17/2008: Pemerintah dapat memberikan HPL/HPP atas wilayah laut, pada Pasal 29 UU No. 17/2008: HPL/HPP diberikan untuk kegiatan: Pelayanan pelabuhan, Pariwisata, Perikanan, Industri kelautan.

Sedangkan dalam Pasal 30 UU No. 17/2008: Pemberian HPL/HPP harus mempertimbangkan: Kebijakan nasional kelautan,Perlindungan lingkungan, Keseimbangan ekosistem termasuk konservasi alamnya.

Sedangkan yang tidak dimungkinkan untuk mengubah laut menjadi sawah hijau gemah ripah SHGB, karena beberapa alasan: Kondisi lingkungan laut yang memiliki kondisi yang sangat berbeda dengan daratan, seperti kadar garam yang tinggi, tekanan air yang besar, dan suhu yang bervariasi.

Baca Juga  Nusa Penida dan Gili Matra Resmi Menjadi PSSA Pertama di Indonesia

Alasan kuat berikutnya, karena laut tidak memiliki tanah yang subur seperti daratan, melainkan substrat yang terdiri dari pasir, lumpur, dan batua, Ketersediaan air tawar di laut yang memiliki kadar garam yang tinggi, sehingga tidak dapat digunakan untuk irigasi sawah.

Alasan utama yang terpenting, pungkas Shodiq, yakni tentang ekosistem Laut yang memiliki keunikan tersendiri dan kompleks, yang tidak dapat diubah menjadi ekosistem sawah maupun lingkungan pemukiman warga.