Ruang.co.id – Data BPS 2022 mengungkap fakta mengejutkan: 8,2% perempuan Indonesia usia subur memilih menunda atau menghindari kehamilan. Angka ini bukan sekadar statistik, tapi cermin nyata dari tren fertility delay yang dipicu oleh tekanan ekonomi, kegamangan mental, dan minimnya dukungan sosial.
Ekonomi vs Kehamilan: Pertaruhan yang Tak Sederhana
Biaya hidup yang melambung tinggi menjadi hantu menakutkan bagi calon orang tua. Dari persalinan di rumah sakit swasta yang bisa menelan puluhan juta, hingga biaya sekolah anak yang naik 10% per tahun, tak heran banyak pasangan memilih “financial readiness” sebelum punya anak. Survei Kementerian Kesehatan 2023 bahkan menunjukkan, 6 dari 10 perempuan menganggap stabilitas ekonomi sebagai syarat mutlak sebelum hamil.
Mental Health Gap: Ketakutan yang Tak Terungkap
Di balik anggapan bahwa “kehamilan adalah kodrat perempuan”, tersembunyi kecemasan profoud tentang menjadi ibu. Baby blues syndrome, risiko depresi pascamelahirkan, dan tekanan menjadi “ibu ideal” sering kali tidak mendapat ruang diskusi. Dr. Saskia Aulia, psikolog klinis, menegaskan bahwa 37% calon ibu mengalami prenatal anxietyākekhawatiran berlebihan sebelum hamil yang justru dianggap tabu.
Karier vs Kandungan: Dilema Perempuan Urban
Di kota-kota besar, tuntutan produktivitas kerja kerap berbenturan dengan hak maternitas. Meski UU Ketenagakerjaan menjamin cuti hamil, realitanya banyak perusahaan enggan mempromosikan perempuan yang berencana punya anak. Studi LinkedIn 2024 menemukan, 52% profesional wanita di Jakarta menunda kehamilan demi menghindari stigma “underperformance”.
Darurat Nutrisi: Ancaman Diam-Diam bagi Calon Ibu
Dr. Ardiansjah Dara Sjahruddin membeberkan fakta mengkhawatirkan: 1 dari 3 calon ibu di Indonesia kekurangan asam folat, zat besi, dan DHAānutrisi kunci untuk mencegah stunting dan prematuritas. Padahal, defisit gizi ini bisa diantisipasi dengan suplementasi pra-kehamilan dan pola makan terencana.
Dari Kampanye ke Aksi Nyata: Apa yang Bisa Dilakukan?
Gerakan seperti “Siapa Takut Jadi Ibu” oleh Prenagen mencoba menjawab tantangan ini melalui tiga pendekatan konkret. Pertama, edukasi nutrisi berbasis bukti untuk memutus rantai malnutrisi. Kedua, komunitas support system tempat calon ibu berbagi tanpa rasa takut dihakimi. Ketiga, kolaborasi dengan pemerintah untuk memperluas akses konseling pra-nikah di Puskesmas.
Fenomena penundaan kehamilan adalah gejala sistemik yang butuh solusi multidimensi. Dari kebijakan perusahaan yang lebih pro-keluarga, hingga revolusi edukasi kesehatan reproduksi, semua pihak harus terlibat.
Anda termasuk yang menunda kehamilan? Ceritakan tantangan terbesarmu di kolom komentarāmungkin kisah Anda bisa jadi inspirasi solusi bagi perempuan lain!

