Literasi Ekonomi Syariah Indonesia Masih Tertinggal Padahal Potensinya Luar Biasa

Potensi ekonomi syariah Indonesia
Kadin Jatim soroti rendahnya literasi ekonomi syariah di Indonesia, padahal potensinya besar. Foto: Istimewa
Mascim
Mascim
Print PDF

Ruang.co.id – Graha Kadin Jatim di Kota Surabaya menjadi saksi pembahasan serius tentang nasib ekonomi syariah Indonesia yang masih jalan di tempat. Adik Dwi Putranto, Ketua Umum Kadin Jatim, dengan nada prihatin menyebut tingkat pemahaman masyarakat tentang prinsip ekonomi Islam masih sangat memprihatinkan. Senin, (19/5/2025). Padahal di saat yang sama, permintaan akan produk halal global justru sedang menanjak drastis.

Fakta ini terungkap dalam talkshow bertajuk “Building Resilience and Strategic Pathways in the Digital Islamic Economy Amid the Trade War Era”. Acara yang digelar bersama akademisi ini menyoroti paradoks besar: di satu sisi Indonesia memiliki populasi Muslim terbesar dunia, tapi di sisi lain adopsi ekonomi syariah masih jauh dari harapan.

Sektor digital menjadi pembahasan menarik dalam forum ini. Data transaksi e-commerce Indonesia yang mencapai Rp 700 triliun per tahun ternyata hanya menyisakan porsi 15-20% untuk transaksi syariah. Angka ini menjadi tamparan keras mengingat potensi pasar digital syariah seharusnya bisa lebih besar.

“Masalah utamanya ada pada literasi digital syariah,” tegas Adik. Banyak masyarakat termasuk pelaku UMKM belum paham bagaimana menerapkan transaksi syariah murni di platform digital. Padahal sertifikasi halal kini bukan lagi sekadar formalitas, melainkan sudah menjadi prasyarat perdagangan global khususnya di Timur Tengah dan negara Muslim lainnya.

Baca Juga  AS Tunda Kenaikan Tarif Impor 32%, Kadin Jatim Ungkap Strategi 90 Hari Krusial untuk Diplomasi Dagang Indonesia

Prof. Dr. Muhammad Nafik Hadi Ryandono dari Unair memberikan pencerahan menarik. Menurut pakar ekonomi syariah ini, prinsip dasar ekonomi Islam sebenarnya sangat universal dan relevan untuk semua kalangan, bukan hanya Muslim.

“Ekonomi syariah berdiri di atas pondasi keadilan distributif, larangan eksploitasi, dan tanggung jawab ekologis,” paparnya. Nilai-nilai ini justru sedang menjadi tren global seiring dengan maraknya isu sustainable development dan ethical business. Ironisnya, di Indonesia sendiri pemahaman tentang konsep dasar ini masih sangat minim.

Fakta bahwa pangsa perbankan syariah hanya 6.5% dari total industri perbankan nasional menjadi bukti nyata. Padahal jika melihat pertumbuhannya, perbankan syariah justru menunjukkan grafik yang lebih sehat dibandingkan perbankan konvensional.

Baca Juga  Dorong Ekonomi Syariah, ITS Luncurkan Platform Digital HalalWave

Clarashinta Canggih, akademisi Unesa, menyoroti posisi Indonesia yang seharusnya bisa menjadi episentrum ekonomi syariah dunia. Dengan lebih dari 200 juta penduduk Muslim ditambah kekayaan sumber daya alam melimpah, seharusnya Indonesia mampu menjadi kiblat industri halal global.

Sayangnya, menurut peneliti ekonomi syariah ini, masterplan ekonomi syariah 2019-2024 belum berjalan optimal. “Yang kita butuhkan sekarang adalah terobosan edukasi massif,” tegas Clarashinta. Tanpa peningkatan literasi dari level hulu ke hilir, mustahil ekonomi syariah bisa menjadi arus utama.

Pertanyaan besarnya adalah bagaimana membangun kesadaran kolektif tentang urgensi ekonomi syariah? Forum ini setidaknya memberikan beberapa petunjuk penting.

Baca Juga  Dari Santri Jadi Pengusaha: OPOP Jatim Genjot 2.000 Pesantren Jadi Kekuatan Ekonomi Syariah

Pertama, perlu integrasi kurikulum ekonomi syariah sejak pendidikan dasar. Kedua, sosialisasi produk syariah harus lebih agresif dengan pendekatan kekinian. Ketiga, perlu insentif konkret bagi pelaku usaha yang beralih ke sistem syariah.

Yang tak kalah penting adalah peran fintech syariah dalam mendigitalisasi transaksi halal. Di era serba digital ini, mustahil berbicara ekonomi syariah tanpa membahas platform digital yang mendukungnya.

Masyarakat kerap bertanya tentang perbedaan mendasar antara sistem syariah dan konvensional. Jawabannya terletak pada prinsip bagi hasil versus bunga, serta konsep transaksi berbasis aset riil.

Kekhawatiran lain muncul tentang validitas transaksi digital syariah. Pakar menegaskan bahwa selama memenuhi prinsip transparansi, kesepakatan jelas, dan bebas gharar (ketidakpastian), transaksi digital syariah sah secara fiqih.

Diskusi di Graha Kadin Jatim ini menyisakan pekerjaan rumah besar. Ekonomi syariah bukan lagi sekadar alternatif, melainkan keniscayaan sejarah di tengah geliat ekonomi global yang semakin menuntut etika dan keberlanjutan.

Indonesia dengan segala potensinya harus segera bangkit dari keterpurukan literasi. Momentumnya sekarang, sebelum negara lain yang justru lebih gesit menguasai pasar halal global yang diperkirakan akan mencapai USD 3.2 triliun pada 2024 ini.