Sidang Tuntutan Jual Beli Ginjal di Sidoarjo: Pasutri Dijadikan Tumbal? Tuntutan 8 Tahun Bikin Shock

Sidang kasus pasutri jual beli ginjal
Pasutri AFH-ASR dituntut 8 tahun dalam kasus jual ginjal. Kuasa hukum shock, sebut kliennya hanya mediator, bukan pelaku utama TPPO. Foto: Nurudin
Ruang Nurudin
Ruang Nurudin
Print PDF

Sidoarjo, Ruang.co.id – Aura tegang menyelimuti ruang sidang Pengadilan Negeri Sidoarjo, Selasa (15/7/2025), ketika pasangan suami istri (pasutri), AFH dan ASR, duduk terpaku di kursi pesakitan.

Getar tubuh mereka tak bisa disembunyikan kala Jaksa Penuntut Umum (JPU), Wahid, membacakan tuntutan: delapan tahun penjara, denda Rp200 juta, dan subsider kurungan enam bulan bila tidak dibayar.

Pasangan ini bukan sekadar terdakwa. Mereka adalah figur manusia biasa, yang terjebak dalam labirin pelik antara kebutuhan hidup, dorongan empati, dan sistem hukum yang tajam ke bawah.

Mereka didakwa sebagai bagian dari sindikat jual beli ginjal lintas negara, dalam perkara yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

Jaksa menilai keduanya telah ā€œmenikmati hasil perbuatanā€ melalui transfer Rp300 juta dari seorang bernama Nunu, diduga untuk biaya operasi transplantasi ginjal di India. Hal ini dinilai memberatkan.

Namun, yang membuat suasana menjadi kian mengguncang yakni reaksi dari tim kuasa hukum terdakwa pasutri.

ā€œJujur saya shock dan tidak habis pikir atas tuntutan JPU terhadap klien kami,ā€ ujar Supolo Setyo Wibowo, S.H., M.H., kuasa hukum pasutri, dengan suara bergetar.

ā€œTuntutan vonis itu terlalu tinggi. Klien kami itu bukan broker atau motivator. Mereka hanya mediator. Dua istilah itu berbeda secara hukum dan moral,ā€ ungkapnya.

Supolo menambahkan bahwa ASR, istri terdakwa AFH, tidak memiliki peran aktif. ā€œDia hanya menemani suaminya yang sudah kehilangan satu ginjalnya yang sudah didonorkan,ā€ tegasnya.

Lebih jauh, ia menyoroti ketimpangan dalam tuntutan. Terdakwa MBA, yang disebut Supolo sebagai inisiator awal dan mengenalkan calon pembeli, justru hanya dituntut tujuh tahun.

ā€œAda kejanggalan. MBA yang mengenalkan pembeli ginjal malah dituntut lebih ringan. Padahal, dari fakta sidang, klien kami tidak pernah menawarkan donor,ā€ kata Supolo, menekankan pentingnya objektivitas dalam proses hukum.

Baca Juga  Advokat Muda Surabaya Hilang, Keluarga Berharap Cemas

Pernyataan tajam juga datang dari Eddy Waluyo, anggota tim kuasa hukum terdakwa pasutri. Ia menganggap kliennya ini dijadikan kambing hitam.

ā€œPara terdakwa sengaja dijadikan tumbal untuk melindungi pihak-pihak lain yang semestinya ikut diseret ke meja hijau,ā€ tegas Eddy, lirih tapi menusuk.

Kasus ini menyeruak setelah rombongan lima orang, termasuk MBA dan seorang penerjemah, digagalkan keberangkatannya oleh petugas Imigrasi di Bandara Juanda.

Pengakuan mereka membuka tabir praktik jual beli organ yang menyentuh titik sensitif nurani publik.

Kisah ini menyayat. Pasutri yang sebelumnya tak dikenal publik, kini menjadi sorotan nasional.

Di tengah pertarungan hukum, mereka memikul beban berat, mempertahankan integritas di hadapan vonis yang dianggap tidak adil.

Pekan depan, tim kuasa hukum akan menyampaikan pledoi atau pembelaannya.

Mereka bertekad memperjuangkan keadilan bagi AFH dan ASR. Sebab, di balik label “tersangka perdagangan orang”, ada manusia yang mungkin hanya sedang mencari jalan keluar dari tekanan hidup.

Sejatinya dalam perkara ini tuntutan vonis yang bukan kriminal sejati. Meski sepakat, kata tim kuasa hukum terdakwa, siapapun pelaku jual beli organ tubuh di negeri kita tercinta, wajib dihukum penjara dan denda. Namun yang setimpal dan sepadan atas apa yang diperbuatnya.