Anak SDN Sidoarjo Terkorbankan, DPRD dan Publik Desak Reformasi Pendidikan

Masalah SPMB Sidoarjo
SPMB overquota memaksa puluhan siswa pindah. DPRD kritik sistem, desak reformasi manusiawi agar anak tak kehilangan hak dan kenyamanan. Foto: Istimewa
Ruang Nurudin
Ruang Nurudin
Print PDF

Sidoarjo, Ruang.co.id – Puluhan murid SD di Kabupaten Sidoarjo merasakan dampak pahit SPMB (Sistem Penerimaan Murid Baru), yang menyalahi batas pagu.

Banyak anak harus pindah sekolah, sedikitnya ada 24 siswa di dua SDN dan yang 2 siswa beserta orang tuanya menolak pindah sekolah. Padahal mereka sudah merasa nyaman.

DPRD Sidoarjo melalui Komisi D sebagian besar merespons dengan kecaman tajam, dan menyerukan reformasi sistem yang lebih manusiawi.

Hal itu melihat realitas yang menyakitkan bagi siswa dan orang tua siswa, hanya karena melebihi Pagu sekolah dari buruknya pengawasan Dispendikbud Sidoarjo.

Hasil monitoring Dispendikbud Sidoarjo menemukan 11 sekolah mengalami overquota, dengan total 48 siswa terdampak. SDN Candipari II memegang catatan tertinggi: 14 siswa kelebihan, diikuti SDN Kesambi dengan 12 siswa lebih.

Dispendikbud memastikan anak-anak itu dengan alibi tidak DO (drop out), meski anak – anak itu sempat dikeluarkan dari sekolah awal yang sudah sekitar dua minggu lebih mengikuti kegiatan belajar.

Tetapi dialihkan ke sekolah terdekat agar tetap tercatat di dapodik dan mendapat ijazah. Di Candipari II, separuh siswa dipindahkan ke SDN Candipari I, sisanya ā€œdititipkanā€ administrasi agar bisa tetap belajar.

ā€œDari dinas pendidikan sudah memberikan arahan kepada para Kepala sekolah, untuk berkoordinasi dengan para siswa dan orang tuanya, untuk mengalihkan murid-murid dari kelebihan Pagu itu, untuk ditempatkan di SD yang pagunya belum penuh, sehingga nanti para siswa dapat masuk dalam dapodik dan mendapatkan biaya operasional sekolah,ā€ kilah Tirto Adi Kepala Dispendikbud, dalam acara hearing.

Kritik Tajam DPRD: Sistem Kaku dan Koordinasi Lemah

Dalam prolog dimulainya hearing, Komisi D DPRD mengecam lemahnya koordinasi Dispendikbud. Ketua Komisi D, Dhamroni Chudlori, menyebut overquota bukan sekadar kegagalan teknis, tetapi kesalahan sistemik, serta lemah mengedepankan rasa kemanusiaan.

ā€œKalau SDN sampai penuh, artinya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sekolah negeri sudah kembali naik,ā€ ujar Dhamroni.

Baca Juga  Bupati Sidoarjo Pacu Rumah Pompa Kedungpeluk Lawan Waktu Cegah Banjir

ā€œKepala sekolah dan dinas seharusnya bisa memprediksi sejak awal. Anak-anak yang terdampak juga perlu didampingi orang tua agar kondisi psikologis mereka tetap nyamanā€.

Kritikan juga datang dari Wakil Ketua Bangun Winarso, yang menilai Dispendikbud, “kurang koordinasi hingga muncul masalah ini yang ramai jadi pembicaraan publik”. Ini menunjukkan sistem yang dibiarkan berjalan tanpa kontrol memadai.

Orang Tua Terbelah: Antara Lega dan Luka Emosional

Anak-anak menangis saat sekolah lama mereka tiba-tiba menyatakan kelebihan kuota. Sekalipun pihak sekolah dan guru ā€œmembujuknyaā€ dengan persuasif.

Belum lagi ongkos transportasi, seragam baru, atau biaya adaptasi di sekolah baru. Orang tua merasa sudah mengeluarkan biaya seragam dan perlengkapan, kok tiba-tiba disuruh pindah tanpa penjelasan logis dan manusiawi, begitu ungkap seorang wali murid frustasi di lapangan.

Kepala sekolah juga mengaku, selalu ada laporan dan koordinasi dengan Dispendikbud saat pelaksanaan SPMB, sekalipun diantara mereka merasa takut untuk menjukkan jatidirinya.

Bangun Winarso, Wakil Ketua Komisi D menilai, Dispendikbud semestinya juga melakukan pendekatan demografis dan geografis untuk dilakukan analisa lapangan temuan perkembangan terbarunya.

ā€œBahkan semestinya menurut aturan SPMB dalam situasi dan kondisi tertentu, pihak sekolah boleh mengajukan tambahan rombel, melalui usulan ke Dispendikbud untuk di tandatangani dan disetujui Bupati maupun di lingkungan dinas pendidikan di tingkat provinsi Jawa Timur,ā€ tandas Bangun Winarso.

Hal demikian dengan lemahnya atau tidak maksimal koordinasi dari Dispendikbud, menyebabkan tekanan administrasi terhadap sekolah, murid dan wali murid.

Transparansi & Tanggung Jawab Utama Dispendikbud

Dalam hearing, Kepala Dispendikbud Tirto Adi beralasan secara normatif dan mengakui transisi SPMB berbeda dengan PPDB, dengan sistem dapodik yang menutup pagu.

Ia menegaskan bahwa semua pemindahan siswa dilakukan dengan biaya sekolah, bukan orang tua, dan sudah melibatkan wali murid dalam rapat koordinasi untuk persetujuan.

Lebih lanjut, lagi – lagi beralibi dan terkesan pembenaran diri dan melempar tanggung jawab ke pihak lembaga sekolah, kepada pers Ia berjanji memperkuat sosialisasi aturan pagu dan memberikan sanksi, mulai dari teguran lisan hingga peringatan tertulis apabila terjadi pelanggaran aturan.

Baca Juga  Dugaan Pungli di Pendidikan Sidoarjo: Fakta atau Fitnah?

Sebaliknya, Komisi D DPRD mendorong beberapa langkah konkret agar kasus rawan ini tak terulang kembali. Yaitu antisipasi awal sekolah wajib mengajukan tambahan rombel saat animo masyarakat tinggi.

Sistem peringatan dini, Dispendikbud perlu mendesain dashboard real-time pagu dan animo untuk pengambilan kebijakan cepat.

Pendampingan psikologis terhadap anak perlu trauma healing saat pindah, sebagai adaptasi emosional harus diutamakan.

Transparansi publik dari Dispendikbud atas seluruh mekanisme SPMB, harus disosialisasikan ulang kepada masyarakat hingga paham.

Evaluasi terhadap Dispendikbud diperlukan, untuk revisi sistem SPMB agar lebih lentur mengikuti realitas jumlah siswa dan antisipasi anomali kuota.

Reformasi Pendidikan atas Hak dan Masa Depan Anak

Bangun Winarso menegaskan, kasus ini menyadarkan kita, bahwa pendidikan bukan sekadar urusan sistem administratif, tetapi menyangkut hak mendasar anak atas kenyamanan dan keadilan.

ā€œDispendik harus membuat kebijakan yang jelas, poin ketentuan apa saja yang rasional yang tidak memberatkan orang tua siswa dan transparan untuk memindahkan siswa ke sekolah lain,ā€ tukas Bangun.

ā€œJangan sampai anak yang rumahnya di belakang sekolahan asal, dipindah ke sekolah lain, ya kalau jaraknya 100 – 200 meter masih maklum, tapi kalau sampai 1 atau 2 kilo meter, kan kasihan siswa dan orang tuanya!,ā€ tandasnya.

DPRD menyuarakan, jika anak-anak merupakan sebuah prioritas, sistem harus bisa menyesuaikan, bukan sebaliknya. Terhadap sisa dua siswa yang tidak mau dipindah, DPRD menyerukan agar Dispendikbud tidak memaksakan kehendak untuk memindahnya, sembari dicarikan solusi Pemkab bersama DPRD yang tepat.

Di awal hearing, Dhamroni menegaskan, ā€œPermasalahan ini mesti jadi momentum agar sistem pendidikan tahun depan lebih manusiawi dan inklusif.ā€ Dengan harapan, reformasi ini jadi titik balik sistem pendidikan menjadi lebih responsif, demi masa depan anak-anak di Sidoarjo dan Indonesia.

Baca Juga  Paripurna DPRD soal Raperda UKS/M Sidoarjo, Tegaskan Generasi Anak Sehat dan Tangguh

PWDPI Sidoarjo Minta Bupati Serius Evaluasi Dispendikbud

Tak hanya DPRD, sebuah organisasi profesi pers pun ikut bersuara keras atas masalah ini. DPC Persatuan Wartawan Duta Pena Indonesia (PWDPI) Sidoarjo mengritik tajam dari masalah SPMB itu. Ketua DPC PWDPI Sidoarjo, Agus Subakti, ST, menilai Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dispendikbud) gagal menjalankan perannya sebagai penanggung jawab utama penyelenggaraan pendidikan.

Kasus kelebihan siswa di SDN Candi Pari 2 Porong, yang memaksa belasan anak harus dipindahkan ke sekolah lain, menurutnya adalah bentuk nyata dari ketidakseriusan Dispendikbud dalam mengantisipasi persoalan Pagu dan usulan Rombel.

ā€œDispendik jangan cuci tangan. Ini jelas kegagalan manajemen yang sangat fatal. Anak-anak bukan barang yang bisa dipindah seenaknya. Mereka punya perasaan, punya hak, dan punya masa depan. Kalau pemerintah abai, maka yang jadi korban adalah siswa dan orang tua,ā€ tegas Agus Subakti saat dimintai tanggapan, Jumat (22/8/2025).

Menurutnya, alasan normatif yang disampaikan Kepala Dispendikbud Sidoarjo, Tirto Adi, dalam hearing bersama Komisi D DPRD, hanya terkesan sebagai alibi untuk menutupi lemahnya perencanaan dan koordinasi.

ā€œKalau memang sudah dilakukan sosialisasi dan monitoring, seharusnya tidak muncul kasus kelebihan siswa. Pernyataan yang dilempar ke publik ini justru membuktikan Dispendik tidak profesional, dan minim antisipasi. Ini bukan sekadar salah teknis, tapi salah kelola,ā€ kritik Agus.

Agus juga mendesak agar Bupati Sidoarjo turun tangan langsung mengevaluasi kinerja jajaran Dispendikbud. Ia menilai, permasalahan ini tidak bisa dianggap sepele, karena menyangkut hak dasar masyarakat.

ā€œIni bukan lagi soal kelebihan kuota, tapi soal integritas dan tanggung jawab pemerintah. Jika Dispendik hanya sibuk memberi teguran ke sekolah tanpa introspeksi diri, maka masalah seperti ini akan terus berulang setiap tahun. Bupati harus turun langsung, jangan sampai kepercayaan masyarakat terhadap sekolah negeri hancur,ā€ tegas Agus.