Kejanggalan Legitimasi Ahli Tergugat dalam Sidang Sengit Sengketa Saham Media

legitimasi ahli hukum
Kuasa hukum Nany Wijaja pertanyakan legitimasi ahli PT Jawa Pos yang telah pensiun dalam sidang sengketa saham media di Pengadilan Negeri Surabaya. Foto: Istimewa
Mascim
Mascim
Print PDF

Ruang.co.id – Persidangan sengketa kepemilikan saham media di Pengadilan Negeri Surabaya menghadirkan pertarungan fundamental mengenai validitas keterangan ahli yang disampaikan dalam proses hukum. Perkara perdata bernomor 273/Pdt.G/2025/PN Sby ini tidak hanya memperebutkan kepemilikan saham, tetapi juga mempertanyakan kredibilitas ahli hukum yang dihadirkan untuk memberikan penjelasan akademis. Suasana ruang sidang berubah menjadi arena perdebatan sengit menyusul kehadiran ahli dari kubu tergugat yang status akademisnya dipertanyakan. Kamis, (20/11/2025).

Dalam perkembangan proses persidangan terbaru, PT Jawa Pos menghadirkan Prof. Nindyo Pramono sebagai ahli di bidang Hukum Bisnis. Namun, kuasa hukum penggugat yang diwakili Ricard Handiwiyanto dan Billy Handiwiyanto segera mengajukan eksepsi terhadap kualifikasi ahli hukum yang telah berstatus purna tugas ini. Mereka berargumen bahwa seorang akademisi yang sudah pensiun kehilangan legitimasi institusional dari universitas tempatnya bernaung. “Status purna tugas menjadikan Nindyo bukan lagi akademisi aktif sehingga harus diperlakukan sebagai profesional biasa, bukan sebagai representasi institusi akademik,” tegas Ricard Handiwiyanto dalam pledoi nya.

Meskipun Hakim Ketua Silvi Yanti Zulfia akhirnya mengesahkan kehadiran ahli tersebut, keputusan ini meninggalkan catatan penting mengenai standar profesional hukum dalam persidangan. Para praktisi hukum yang mengamati perkara ini menilai penolakan terhadap ahli pensiunan bisa menjadi preseden baru dalam praktik hukum Indonesia, khususnya dalam memastikan kualitas dan relevansi keterangan ahli yang dihadirkan di pengadilan.

Fase pemeriksaan ahli justru memunculkan dinamika tidak terduga dalam jalannya persidangan. Saat kubu penggugat mulai mengajukan pertanyaan, terjadi interupsi berulang dari ahli yang dihadirkan tergugat. Billy Handiwiyanto harus beberapa kali menegur sikap ahli yang dinilai tidak proporsional. “Mohon ahli tidak mengoreksi pertanyaan kami. Biarkan kami mengajukan secara utuh. Kesimpulan biar kami yang tarik,” protes Billy dengan nada tinggi.

Baca Juga  Kredit Perumahan Jadi Penyokong Ekonomi Jatim, AHY dan Khofifah Berkolaborasi

Lebih lanjut, kuasa hukum penggugat ini menganalisis bahwa pola interupsi yang terjadi mengindikasikan ketiadaan sikap netral ahli dalam memberikan pendapat. “Ilustrasi yang kami ajukan sangat sederhana, tapi ahli tampak keberatan dan justru menjelaskan keluar konteks. Ini mengganggu objektivitas pemeriksaan,” tambah Billy. Insiden ini memperlihatkan bagaimana dinamika persidangan bisa dipengaruhi oleh interaksi personal antara para pihak dengan ahli yang dihadirkan.

Inti persoalan dalam sengketa kepemilikan saham ini adalah status hukum praktik nominee yang menjadi salah satu fokus pemeriksaan. Ketika ahli menyatakan bahwa nominee diperbolehkan, tim penggugat langsung membantah dengan argumentasi hukum yang kuat. Johanes Dipa, kuasa hukum tergugat 2, secara tegas menyatakan: “Ahli tadi mengatakan nominee diperbolehkan. Kami tidak setuju. Nominee adalah bentuk penyelundupan hukum yang dilarang undang-undang. Pasal 33 UU Penanaman Modal menyebutkan itu batal demi hukum.”

Pernyataan ini kemudian dikembangkan oleh kubu penggugat dengan menjelaskan bahwa praktik nominee saham merupakan bentuk penghindaran hukum yang tidak boleh diakui dalam struktur perseroan terbatas. Mereka menekankan bahwa kepemilikan saham sah harus berdasarkan dokumen legal dan transparan, bukan melalui pengaturan yang bersifat samar dan melawan ketentuan undang-undang yang berlaku.

Pasca persidangan, Ricard Handiwiyanto memberikan penjelasan mendalam mengenai implikasi status pensiun seorang ahli. “Sekarang dia profesional, bukan Guru Besar aktif. Di persidangan pun terlihat jengkel saat kami bertanya, padahal ilustrasi kami sangat relevan,” ujarnya. Analisis ini menyoroti perbedaan mendasar antara otoritas akademik aktif dengan pendapat profesional biasa dalam konteks pembuktian di pengadilan.

Tim penggugat akhirnya menyimpulkan bahwa keterangan ahli tersebut mengandung kelemahan substansi hukum baik dari aspek formal maupun material. Mereka menilai objektivitas ahli dipertanyakan mengingat respons emosional yang ditunjukkan selama proses pemeriksaan. Kesimpulan ini menjadi dasar bagi penggugat untuk terus mempertahankan posisi hukum mereka dalam memperjuangkan kepastian hukum atas kepemilikan saham.

Baca Juga  Sutadji Pelaku Pencabulan Anak Dibawah Umur Divonis Hakim Damanik 4 Tahun Penjara

Perkara yang menyangkut kepemilikan PT Dharma Nyata Press ini memiliki implikasi luas terhadap praktik bisnis media di Indonesia. Gugatan yang diajukan Nany Widjaja tidak hanya menuntut pengakuan atas 264 lembar saham, tetapi juga meminta pengesahan Akta Jual Beli Saham No. 10/1998 dan Akta Keputusan Rapat No. 59/2018. Permohonan uitvoerbaar bij voorraad yang diajukan menunjukkan urgensi penyelesaian perkara mengingat nilai aset yang diperebutkan cukup signifikan.

Perkembangan proses hukum berjalan terus menunjukkan kompleksitas penyelesaian sengketa korporasi di Indonesia. Sidang lanjutan yang akan menghadirkan saksi tambahan diprediksi akan semakin mengerucut pada persoalan fundamental mengenai kepemilikan perusahaan media dan penerapan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dalam struktur kepemilikan saham.