Sidoarjo, Ruang.co.id ā Dugaan korupsi dana Corporate Social Responsibility (CSR) pihak ketiga senilai total sekitar Rp 3,6 miliar, yang seharusnya menjadi kompensasi pengembangan perumahan elite di Sidoarjo, mengguncang Desa Entalsewu, Kecamatan Buduran.
Kasus yang sudah menyeret Kepala Desa (Kades) Sukriwanto dan Ketua BPD Asrudin ini kini menyeret warga biasa sebagai saksi.
Mengapa warga kecil yang tidak punya jabatan desa harus terseret? Tim penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Sidoarjo memeriksa dua warga, Masyhuri dan Yudhi, Senin (24/11/2025).
Pemeriksaan ini membuka tabir mengejutkan di balik penyalahgunaan dana, mengungkap fakta bahwa Kades memerintahkan warga biasa untuk membagi-bagikan uang, jauh dari mekanisme anggaran resmi desa.
Ketua Tim Penasehat Hukum (PH) warga Entalsewu, Ali Maulidi, berani meminta tim jaksa melihat perkara secara objektif dan adil, menegaskan kliennya hanya korban perintah.
“Kami berharapan para jaksa Kejari Sidoarjo dapat melihat perkara ini secara objektif dan adil. Karena sebenarnya klien kami ini tidak terlibat dalam kasus dugaan korupsi ini,” tegas Ali Maulidi kepada wartawan usai pemeriksaan, Senin (24/11/2025) malam.
Ali mengungkap, kedua kliennya hanya berstatus sebagai orang kecil yang ditunjuk Kades sebagai panitia penerima dan pembagi dana kompensasi.
Persepsi warga eks Gogol menganggap dana kompensasi itu merupakan hak mereka, bukan dana kas desa.
“Artinya, tidak ada mens rea (niat jahat) dari kedua klien kami untuk menggunakan dana itu untuk kepentingan jahat atau kepentingan pribadinya,” ungkap Ali.
Dana CSR Kompensasi yang berasal dari pelepasan tanah gogol kepada pengembang perumahan ini, terbukti tidak pernah dimasukkan ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) ataupun melalui Musyawarah Desa (Musdes), sebagaimana Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa.
Peraturan ini secara tegas menggariskan bahwa semua pendapatan desa harus dicatat dan dipertanggungjawabkan melalui APBDes.
Fakta bahwa dana Rp 3,6 miliar ini dipegang dan dibagi-bagikan atas perintah Kades tanpa dimasukkan APBDes, menjadi titik kunci yang menguatkan dugaan korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
Klien Ali Maulidi hanya mengikuti perintah Kades untuk membagikan uang kepada warga eks Gogol sebesar Rp 1,5 miliar, merusak rencana awal pembangunan desa.
Dana sisa sekitar Rp 600 juta sempat disimpan klien di rekening musala (bukan rekening pribadi) sambil menunggu perintah Kades, menunjukkan tidak adanya niat menikmati uang tersebut.
“Apa pun tudingannya, klien kami ini hanya orang-orang kecil dan warga biasa. Di pemerintah itu masih ada dua yakni Sekretaris Desa (Sekdes) dan Bendahara Desa,” tutup Ali, mengingatkan peran pejabat desa yang seharusnya bertanggung jawab penuh atas pengelolaan keuangan desa.
Kejari Sidoarjo sebelumnya menahan Kades Sukriwanto dan Ketua BPD Asrudin pada 21 Juli 2025, dan telah menyita uang hasil dugaan korupsi senilai hampir Rp 1 miliar (Rp 950 juta).
Tim Pidsus harus mengungkap siapa sebenarnya aktor intelektual utama yang bertanggung jawab atas hilangnya hak pembangunan desa ini.

