Ruang.co.id – Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Jawa Timur menggelar webinar nasional kerjasama dengan Univ Wisnuwardhana, 9 Februari 2025. Membahas isu penting tentang revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang tata tertib. Salah satu topik utama yang diangkat adalah kewenangan DPR untuk mencopot pejabat negara melalui peraturan tata tertib DPR. Pertanyaannya: Apakah ini konstitusional?
Menurut Dr. Hufron, S.H., M.H., Sekjen APHTN-HAN Jawa Timur, asosiasi pengajar hukum tata negara di Jawa Timur merasa risau dengan perubahan tersebut. Pasal 228a yang disisipkan dalam revisi peraturan tersebut memperluas kewenangan DPR untuk evaluasi berkala terhadap pejabat yang telah melalui fit and proper test oleh DPR. Hal ini menimbulkan kontroversi di kalangan ahli hukum tata negara.
Dr. Hufron menjelaskan, “Pasal 228a ini berpotensi mengganggu prinsip trias politika di Indonesia, yang mengatur keseimbangan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan adanya kewenangan DPR yang lebih luas untuk mengevaluasi pejabat secara berkala, terutama pejabat yang sudah lulus fit and proper test, kami khawatir hal ini akan memicu intervensi politik terhadap kekuasaan eksekutif dan yudikatif.”
Revisi tersebut memperkenalkan kewenangan bagi DPR untuk melakukan evaluasi terhadap 36 lembaga negara yang diwajibkan menjalani fit and proper test. Hasil evaluasi yang bersifat mengikat dapat mempengaruhi keputusan-keputusan penting yang diambil oleh lembaga negara lainnya.
Selain itu, Dr. Hufron menambahkan, perubahan ini dapat menyebabkan munculnya fenomena “legislatif heavy” yaitu kondisi di mana DPR memiliki kekuasaan lebih besar dibandingkan dengan eksekutif dan yudikatif. Ini bertentangan dengan prinsip dasar sistem pemerintahan presidensial yang mengharuskan adanya check and balance antar lembaga negara.
“Pada masa Orde Baru, kita mengenal istilah eksekutif heavy, di mana kekuasaan eksekutif jauh lebih besar. Namun, pasca-amandemen UUD 1945, sistem yang dianut adalah presidensialisme yang menekankan keseimbangan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Revisi peraturan ini justru cenderung memperbesar peran legislatif tanpa memperhatikan independensi kekuasaan kehakiman,” jelasnya.
Lebih lanjut, Dr. Hufron menekankan bahwa independensi kekuasaan kehakiman harus tetap dijaga, termasuk bagi Mahkamah Konstitusi (MK). Sebagai contoh, calon hakim MK yang diusulkan oleh DPR melalui fit and proper test seharusnya tidak dapat dipengaruhi oleh evaluasi yang dilakukan oleh DPR setelahnya. Hal ini penting untuk menjaga kemandirian lembaga peradilan di Indonesia.
Sebagai langkah responsif, APHTN-HAN Jatim telah membentuk tim untuk menyusun Short brief (ringkasan hukum) yang akan diajukan sebagai gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Hal ini bertujuan untuk menguji konstitusionalitas dari revisi peraturan tata tertib DPR, terutama terkait dengan kewenangan baru yang diberikan kepada DPR.
“Jika peraturan tata tertib ini diterapkan tanpa pengawasan yang tepat, maka akan ada risiko penyalahgunaan kewenangan. Oleh karena itu, kami menyarankan untuk segera mengajukan hak uji materiil ke Mahkamah Agung dan mengajukan gugatan ke PTUN,” ujar Dr. Hufron.
Para ahli yang hadir dalam webinar ini, termasuk Dr. Haryono, SH, mantan hakim MK, dan Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum, Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, turut mengingatkan bahwa revisi tersebut berpotensi merusak sistem ketatanegaraan Indonesia.
Setelah diskusi mendalam yang dihadiri oleh lebih dari 200 peserta dari berbagai kalangan di seluruh Indonesia, disimpulkan bahwa revisi tata tertib DPR yang memperluas kewenangan untuk evaluasi berkala terhadap pejabat negara dinilai tidak tepat dan berisiko mengganggu prinsip check and balance dalam sistem pemerintahan Indonesia.
APHTN-HAN Jatim berkomitmen untuk terus melakukan langkah-langkah hukum untuk mencegah potensi penyalahgunaan kewenangan yang dapat merusak independensi lembaga negara dan sistem ketatanegaraan Indonesia.