Hakim MK Hadapi Tantangan: Dr. Hufron, Sengketa Pilkada dengan Tenggat Waktu Ketat

Dr. Hufron Pakar hukum tata negara
Dr. Hufron Pakar hukum tata negara, Mahkamah Konstitusi menghadapi tantangan menyelesaikan ratusan perkara sengketa pilkada dalam waktu 45 hari. Bagaimana prosesnya dan tantangannya?
Ruang redaksi
Print PDF

Surabaya, Ruang.co.id – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menjadi sorotan publik dengan dimulainya sidang perkara sengketa Pilkada 2025. Dari ratusan perkara yang masuk, proses penyelesaian sengketa ini harus selesai dalam waktu 45 hari sesuai mekanisme yang telah ditentukan. Proses ini dikenal sebagai “speedy trial,” sebuah sistem persidangan cepat untuk menjaga efisiensi waktu tanpa mengurangi substansi pemeriksaan.

Dr. Hufron, SH., MH., pakar hukum tata negara dari Universitas 17 Agustus Surabaya, menjelaskan bahwa MK telah membagi proses pemeriksaan ini ke dalam panel-panel. Dari sembilan hakim MK, mereka dibagi menjadi tiga panel untuk menangani perkara secara paralel. Setiap panel bekerja dalam tiga sesi setiap hari. “Misalnya, panel satu memulai sidang pukul 08.00 hingga 12.00, panel dua pukul 13.00 hingga 17.00, dan panel tiga pukul 19.00 hingga selesai. Dengan pembagian waktu dan panel seperti ini, proses penyelesaian perkara dapat dilakukan secara maksimal dalam batas waktu yang ada,” ujarnya.

Namun, kondisi kesehatan salah satu hakim MK, Anwar Usman, menjadi perhatian. Harapan besar ditujukan agar beliau segera pulih dan dapat kembali berkontribusi. Pasalnya, meski perkara ditangani panel-panel, keputusan akhir tetap memerlukan sidang pleno yang melibatkan kesembilan hakim.
Salah satu kasus yang menyedot perhatian adalah sengketa Pilkada Jawa Timur, di mana kuasa hukum paslon 03 menggugat kemenangan paslon 02, Khofifah-Emil. Dr. Hufron menilai bahwa meski menggugat hasil Pilkada ke MK adalah hak setiap pasangan calon, kuasa hukum harus mampu membuktikan adanya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). “Dengan selisih suara yang cukup besar, tugas kuasa hukum adalah menghadirkan bukti bahwa ada pelanggaran yang melibatkan pejabat dan dilakukan secara masif di beberapa daerah,” jelasnya.

Baca Juga  Tim Khofifah-Emil Santai Hadapi Sengketa Pilkada di MK: “Kami Sudah Siap!”

Jika bukti tersebut terbukti, MK memiliki beberapa opsi, seperti memerintahkan pemungutan suara ulang di wilayah tertentu atau penghitungan ulang suara. Contoh serupa pernah terjadi dalam kasus Pilkada Madura pada 2019.

Selain para pemohon dan termohon, tantangan besar juga dihadapi para hakim MK. Dr. Hufron menekankan bahwa kualitas putusan bergantung pada kelengkapan bukti dan argumen yang disampaikan para pihak. “Hakim MK akan memutus berdasarkan fakta yang terbukti. Jika kuasa hukum dapat membuktikan dalil gugatannya, permohonan akan dikabulkan. Sebaliknya, jika tidak, gugatan akan ditolak,” tambahnya.

Tantangan lain adalah menyelesaikan ratusan perkara dalam waktu singkat tanpa mengorbankan keadilan. Oleh karena itu, kerja sama semua pihak, mulai dari hakim, pemohon, hingga termohon, sangat penting.

Proses sengketa Pilkada 2025 di MK menjadi ujian penting bagi sistem hukum di Indonesia. Publik berharap setiap keputusan mencerminkan keadilan dan transparansi. Dengan mekanisme yang telah diatur secara ketat, semua pihak diharapkan dapat memenuhi tugas mereka dengan baik untuk menjaga integritas demokrasi.