Surabaya, Ruang.co.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami dugaan korupsi dana hibah kelompok masyarakat (pokmas) yang bersumber dari APBD Jawa Timur tahun anggaran 2019-2022. Mantan Ketua DPRD Jawa Timur, Kusnadi, menjadi salah satu tokoh yang dimintai keterangan dalam pengusutan kasus ini.
Pada pemanggilan sebelumnya, Kusnadi sempat absen karena alasan kesehatan. Namun, dalam pemeriksaan terbarunya, ia menunjukkan sikap kooperatif dan menyatakan kesiapannya membuka fakta terkait dana hibah tersebut. “Klien kami siap memberikan keterangan secara transparan, termasuk soal Hibah Gubernur dan pokmas di Jawa Timur,” ujar Tim Kuasa hukum, Marthin Stiabudi, S.H., M.H., dari Adam & Associates, kepada wartawan.
Menurut Marthin, Kusnadi menjelaskan bahwa mekanisme dana hibah pokmas sebenarnya berada di bawah wewenang eksekutif, sesuai dengan peraturan gubernur. “Hibah pokmas masuk melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jatim. Penentuan usulan legislatif dan eksekutif dibedakan di sini, meski nomenklaturnya sama,” jelasnya. Dalam pemeriksaan itu, Kusnadi menjawab sekitar 40 pertanyaan yang diajukan oleh penyidik.
KPK juga memanggil 17 anggota DPRD Jawa Timur periode 2019-2024 sebagai saksi, termasuk Agus Wicaksono (Ketua Badan Kehormatan DPRD), Abdul Halim (Ketua Komisi C), dan Alyadi (Ketua Komisi B). Para saksi diminta menjelaskan alur pengajuan, persetujuan, hingga pencairan dana hibah. Pemeriksaan berlangsung di Kantor BPKP Perwakilan Jawa Timur.
Pada Juli 2024, KPK menetapkan 21 orang sebagai tersangka dalam kasus ini, termasuk anggota DPRD dan pihak eksekutif. Kasus ini disebut sebagai salah satu skandal korupsi terbesar dalam sejarah Jawa Timur. Tim Kuasa hukum Kusnadi, Marthin Stiabudi, S.H., M.H., menegaskan pentingnya pengungkapan menyeluruh. “Kami akan membuka fakta bahwa korupsi ini tidak mungkin hanya dilakukan oleh legislatif tanpa sepengetahuan pihak eksekutif, termasuk Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur,” tegas Marthin.
Kusnadi juga menyampaikan bahwa keputusan anggaran DPRD melibatkan sembilan ketua fraksi yang memiliki peran utama dalam pembahasan hingga pengambilan keputusan final. Fakta ini menjadi salah satu poin yang akan dibeberkan lebih lanjut oleh Kusnadi. “Kami ingin masyarakat mengetahui bahwa proses ini melibatkan banyak pihak, dan semuanya harus diungkap agar jelas,” pungkasnya.
KPK berharap kasus ini menjadi pelajaran bagi pengelolaan anggaran di daerah dan mendorong tata kelola yang lebih transparan dan akuntabel.