Ruang.co.id – Di tengah gegap gempita pembangunan dan gemuruh industrialisasi yang makin menggeliat di Surabaya, kota ini menyisakan ruang bagi denyut kesenian yang enggan padam. Kala beton tumbuh menjulang dan ruang publik menyempit, para seniman Surabaya tak diam dan menyerah. Mereka justru menciptakan “ruang tanding” baru, sebuah panggung alternatif yang menyuarakan keberanian, imajinasi, dan identitas kota.
Surabaya bukan sekadar kota industri. Ia juga medan dialektika budaya yang terus bertransformasi. Di sinilah Forum Pegiat Kesenian Surabaya (FPKS) akan memainkan peran pentingnya, menjadi motor penggerak agar seni tidak menjadi korban, melainkan mitra pembangunan kota yang humanis dan berjiwa.
“Kota bukan cuma urusan ekonomi dan efisiensi, tapi juga tentang bagaimana kita merawat jiwa dan identitasnya melalui seni,” tegas Henri Nurcahyo, budayawan Surabaya dalam sesi wawancara jelang gelaran besar FPKS.
FPKS akan menggelar dua acara monumental bertajuk “Kota dan Kesenian” pada 16 Juni 2025 di Galeri Dewan Kesenian Surabaya. Dua acara tersebut adalah seni pertunjukan dan workshop penulisan kreatif berbasis sastra. Keduanya dirancang bukan sekadar sebagai hiburan, tapi sebagai pernyataan sikap, seni merupakan nyawa kota.
Workshop sastra khusus menyasar kawula muda dan generasi milenial. Lewat kelas ini, FPKS mendorong lahirnya pujangga-pujangga baru Surabaya yang tak hanya menulis, tapi menyuarakan nurani kota. Targetnya pun visioner, menerbitkan antologi puisi hasil karya peserta sebagai jejak literasi urban masa kini.
“Literasi bukan sekadar menulis, tapi membangun kesadaran kolektif bahwa Surabaya harus kembali jadi Kota Literasi,” kata Heti Palestina Yunani, pimpinan produksi kegiatan FPKS kali ini.
Sementara dari panggung seni pertunjukan, nama-nama besar akan tampil memukau. Mulai dari Budi Bi dan Ami Tri dengan lukisan performatifnya, Don Aryadien penyair kondang dan keren alumnus Stikosa – AWS, Ribut Wijoto dengan pembacaan puisi lintas generasi, hingga penampilan teatrikal penuh semangat dari Irfan Gepeng lewat Teater Tari Benalu.
Tidak kalah menggugah, musik karawitan kontemporer ala Bambang SP akan berpadu dengan kelakar jenaka Edy Jenggot. Dan sebagai pamungkas, monolog eksistensial “Dihadapan Burung Agung” oleh Jeremiah Earvin akan menjadi refleksi terdalam tentang keberadaan manusia di kota modern.
“Keberagaman ini adalah wajah asli Surabaya, heroik, egaliter, dan berjiwa. FPKS tidak hanya menyelenggarakan acara. Mereka sedang menegaskan bahwa seni harus menjadi bagian dari narasi besar kota. Seni bukan pernik, tapi pondasi identitas,” ungkap Sasetyo Wilutama Humas Dewan Kesenian Surabaya (DKS), yang juga jurnalis senior lulusan Stikosa – AWS.
Di tengah arus seragam pembangunan, acara ini menurutnya merupakan oase estetika. Ia mengingatkan kita bahwa Surabaya bukan hanya kota pabrik dan gedung pencakar langit. Ia juga kota puisi, musik, lukisan, dan teater, tempat di mana suara manusia tetap terdengar, bukan hanya deru mesin.
FPKS mengajak kita hadir di pertunjukan kolaborasi seni ini di Blai Pemuda Surabaya, yang merupakan bagian mendukung ruang-ruang seni kota ini. Karena sebuh monolog mengatakan, kota tanpa seni, kota yang kehilangan jiwanya.