Malam Penyelamatan Ni Kadek Calon Buruh Migran: Perjuangan Berat, Ingin Pulkam dan Ijazah Ditahan, Anak Balita Menanti di Rumah

pekerja migran Ni Kadek
Ni Kadek, ibu muda buruh migran, berjuang keluar dari penahanan LPK. Ijazah ditahan, anak menanti—kisahnya menggugah hati publik. Foto: Nurudin
Ruang Nurudin
Ruang Nurudin
Print PDF

Sidoarjo, Ruang.co.id – Jumat malam, 29 Mei, menjadi saksi bisu sebuah drama kemanusiaan di Sidoarjo, Jawa Timur. Seorang calon pekerja migran bernama Ni Kadek Srumpon (28), akhirnya berhasil dibebaskan dari penahanan tidak resmi oleh sebuah perusahaan pelatihan tenaga kerja PT. Mulia Laksana Sejahtera, di Desa Siwalanpanji, Kec. Buduran. Sidoarjo. Perjuangan keras dan berat untuk pemulangannya pun menyentuh hati banyak pihak, dan kini menjadi perbincangan hangat publik.

Ni Kadek, seorang ibu muda asal sebuah desa terpencil di Nusa Penida, Bali, memutuskan mengundurkan diri dari program kerja ke Malaysia setelah mendapat kabar duka: mertuanya meninggal dunia. Ditambah anak balita semata wayangnya yang selama ini diasuh mertuanya, kini tak ada yang merawat. Namun, permintaan pulang itu ditolak oleh pihak perusahaan. Bahkan, ijazah tamatan SMP miliknya sempat ditahan sebagai bentuk “jaminan”.

Ditambah lagi posisi suaminya yang merantau kerja di Nusa Tenggara tidak bisa pulang kampung untuk menjemput istrinya pulang. Masalah makin bertambah keruh, tatkala pihak biro penyalur tenaga kerja di Nusa Tenggara, kurang bertanggungjawab untuk menyampaikan dan mengurusnya ke LPK-nya.

Ni Kadek juga tidak tertrik lagi melanjutkannya, dengan rencana dekat penempatan kerja yang dijanjikan pihak LPK, untuk bekerja di sebuah Vihara di Malaysia. Lantaran tidak sesuai dengan pengajuan dan perjanjian kerjanya sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT).

Situasi genting itu direspons cepat oleh Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Surabaya dan Sidoarjo. Upaya negosiasi dilakukan sejak pukul 19.00 WIB, namun menemui jalan buntu. Puluhan aktivis FSPMI beserta mobil komandonya pun menggelar aksi damai di depan perusahaan, hingga akhirnya menghadirkan mediasi antara berbagai pihak, termasuk Disnakertrans Jatim, Polresta Sidoarjo dan Polsek Buduran, Kodim 0816, Koramil Buduran, Babinsa, Sidoarjo, dan pihak perusahaan yang diwakili Direktur Operasional dan humasnya.

Baca Juga  Jatim Raih WTP 10 Kali Beruntun! Kunci Transparansi APBD yang Tak Retak

“Butuh tekanan publik agar komunikasi terjadi. Tanpa itu, mustahil Ni Kadek bisa bebas malam ini,” ungkap Nuruddin Hidayat, Sekretaris FSPMI Surabaya.

Setelah negosiasi alot selama tiga jam, perusahaan akhirnya menandatangani surat pernyataan bermaterai, membebaskan Ni Kadek dan mengembalikan ijazahnya. Biaya pelatihan sebesar Rp18 juta pun ditangani langsung oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur berkat intervensi cepat Gubernur Jatim.

“Saya hanya ingin pulang. Anak saya butuh saya. Terima kasih teman – teman bantu keluarkan saya,” ucap lirih Ni Kadek yang langsung dijemput kerabatnya dari Bali malam itu juga.

Kasus ini memantik diskusi serius soal tata kelola perekrutan tenaga kerja migran dan pentingnya perlindungan menyeluruh, terutama bagi perempuan. Selain membuka mata banyak orang, kisah Ni Kadek menjadi pengingat bahwa keberanian untuk bersuara bisa menjadi awal perubahan.

“Peristiwa ini viral di media sosial, menggugah simpati publik, dan menjadi refleksi khusus, bahwa sistem pelatihan kerja tak boleh lagi menahan hak dasar seseorang dengan merampas kebebasan untuk memilih kembali kepada keluarganya” ujar praktisi hukum Supolo Setyo Wibowo, S.H., M.H.

Kini, Ni Kadek pulang. Bukan sebagai korban, tapi sebagai simbol harapan bagi ratusan ribu pekerja migran Indonesia.