Ruang.co.id – Dalam rangkaian acara Hari Ulang Tahun ke-17 Kongres Advokat Indonesia (KAI) 2025, Dewan Pimpinan Daerah KAI Jawa Timur menggelar Diskusi Nasional bertema “Implikasi dan Solusi Kewenangan Advokat Berdasarkan RUU KUHAP”. Diskusi Nasional ini menjadi ajang penting bagi para praktisi hukum untuk mengkritisi Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
Salah satu sorotan utama datang dari Narasumber Prof. Dr. Hufron, S.H., M.H., pakar hukum tata negara Universitas 17 Agustus Surabaya, yang secara tegas menyatakan perlunya penguatan kewenangan advokat dalam sistem peradilan pidana. Acara yang mengusung tema “Implikasi dan Solusi Kewenangan Advokat Berdasarkan RUU KUHAP” ini dihadiri oleh 200 advokat se-Jawa Timur, menegaskan komitmen KAI dalam memperjuangkan reformasi hukum yang berkeadilan. Sabtu, (05/7/2025).
Dalam paparannya, Prof. Dr. Hufron menekankan bahwa advokat harus diposisikan setara dengan penegak hukum lain seperti jaksa dan hakim. “Dalam Pasal 5 UU Advokat, sudah jelas disebutkan bahwa advokat adalah aparat penegak hukum yang mandiri. Karena itu, RUU KUHAP harus mengatur kewenangan advokat, bukan sekadar hak dan kewajiban,” tegasnya. Poin ini menjadi penting mengingat selama ini masih terjadi ketimpangan dalam praktik peradilan pidana, di mana advokat kerap dianggap sebagai pihak sekunder.
Ia juga mengkritik wacana pengawasan sepihak terhadap advokat oleh aparat penegak hukum lain. “Ini bertentangan dengan asas kerahasiaan klien dan prinsip kepercayaan dalam profesi advokat,” ujarnya. Menurutnya, pengawasan harus dilakukan oleh Dewan Kehormatan Advokat, bukan institusi lain yang berpotensi memengaruhi independensi profesi ini.
Salah satu isu panas yang dibahas adalah ancaman pasal obstruction of justice yang bisa menjerat advokat saat mendampingi klien. Prof. Dr. Hufron menegaskan bahwa kewenangan advokat dalam pembelaan tidak boleh dikriminalisasi. “Jika advokat bertindak sesuai kode etik, tidak ada alasan untuk menjeratnya dengan tuduhan merintangi proses hukum,” tegasnya.
Ia memaparkan bahwa imunitas advokat adalah hak fundamental yang dilindungi secara internasional, termasuk dalam United Nations Basic Principles on the Role of Lawyers. “Tanpa imunitas, advokat tidak bisa bekerja secara objektif dan bebas, yang pada akhirnya merugikan sistem peradilan itu sendiri,” tambahnya.
Selain membela tersangka atau terdakwa, Prof. Dr. Hufron menyarankan agar RUU KUHAP juga memberikan kewenangan advokat untuk mendampingi saksi dan korban. “Ini adalah bagian dari keadilan prosedural yang sering diabaikan. Saksi dan korban juga berhak mendapat pendampingan hukum yang memadai,” jelasnya.
Ia mencontohkan, dalam banyak kasus pidana, saksi dan korban justru menjadi pihak yang paling rentan secara hukum. “Tanpa pendampingan advokat, mereka bisa saja dimanipulasi atau bahkan diintimidasi selama proses hukum berlangsung,” paparnya.
Meski RUU KUHAP dinilai sebagai langkah progresif, Prof. Dr. Hufron menyayangkan beberapa pasal yang masih bersifat ambigu dan berpotensi melemahkan posisi advokat. “Kita tidak ingin reformasi hukum ini hanya jadi simbol belaka. Advokat harus benar-benar diberi ruang untuk berkontribusi secara maksimal dalam sistem peradilan,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan agar proses pembahasan RUU KUHAP melibatkan lebih banyak masukan dari praktisi hukum, termasuk organisasi advokat seperti KAI. “Ini bukan hanya tentang kewenangan profesi, tapi juga tentang membangun sistem hukum yang lebih adil dan transparan,” pungkasnya.
Diskusi Nasional KAI Jawa Timur kali ini tidak hanya menjadi ajang tukar pikiran, tapi juga momentum strategis bagi advokat untuk memperjuangkan hak-hak profesi mereka. Dengan analisis kritis dari Prof. Dr. Hufron, diharapkan RUU KUHAP ke depan benar-benar mampu menciptakan sistem peradilan pidana yang lebih seimbang dan berkeadilan.

