Ruang.co.id – Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan resmi tercatat sebagai tersangka dalam kasus dugaan penggelapan dan pemalsuan dokumen. Penetapan status tersangka ini berdasarkan surat resmi Ditreskrimum Polda Jawa Timur bernomor LP/B/546/IX/2024 yang dikeluarkan pada 7 Juli 2024. Dokumen tersebut ditujukan kepada pelapor, Rudy Ahmad Syafei Harahap, sebagai pemberitahuan perkembangan tahap penyidikan. Senin, (14/7/2025).
Bersama Dahlan Iskan, mantan Direktur Jawa Pos Nany Widjaja juga turut ditetapkan sebagai tersangka. Keduanya dijerat dengan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat dan Pasal 374 KUHP mengenai penggelapan dalam jabatan. Kasus ini bermula dari laporan yang diajukan sejak September 2024, dimana pelapor menduga terjadi manipulasi dokumen dan penyalahgunaan wewenang.
Pakar hukum Prof. Dr. Sunarno Edy Wibowo menyoroti beberapa kejanggalan dalam proses penetapan tersangka ini. Menurut Guru Besar Hukum Universitas Airlangga ini, penyidik harus benar-benar memastikan terpenuhinya unsur delik formil dan materiel sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka, terlebih ketika menyangkut figur publik seperti Dahlan Iskan.
“Dalam kasus pidana, khususnya yang melibatkan pasal pemalsuan dan penggelapan, bukti permulaan yang cukup mutlak diperlukan,” tegas Sunarno. Ia menekankan pentingnya gelar perkara sesuai Keputusan Kapolri No. 14 Tahun 2012 sebelum penetapan tersangka. Proses ini harus melibatkan semua pihak terkait termasuk pelapor, terlapor, dan kuasa hukum masing-masing.
Prof Bowo lebih lanjut mengkritik kemungkinan adanya cacat prosedur dalam proses penyidikan ini. Menurutnya, Pasal 183 KUHP mensyaratkan minimal dua alat bukti yang sah seperti keterangan saksi, dokumen autentik, atau petunjuk lain sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka. “Tanpa pemenuhan bukti minimal ini, penetapan tersangka bisa digugat melalui praperadilan,” ujarnya.
Pakar hukum ini juga menyoroti kewajiban penyidik untuk mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada penuntut umum. Proses ini seringkali terabaikan namun menjadi krusial untuk memastikan transparansi proses hukum. Sunarno menambahkan, “Dalam kasus publik seperti ini, setiap tahapan harus dilakukan dengan ekstra hati-hati untuk menjaga kredibilitas proses peradilan.”
Menurut analisis Prof Bowo, Dahlan Iskan memiliki beberapa opsi hukum untuk membela diri. Mekanisme praperadilan berdasarkan Pasal 77 KUHAP menjadi jalan terbaik untuk menguji sah atau tidaknya penetapan tersangka ini. “Jika terbukti ada pelanggaran prosedur, status tersangka bisa dibatalkan melalui putusan praperadilan,” jelasnya.
Namun Prof Bowo mengingatkan, jika bukti-bukti yang diajukan penyidik cukup kuat, kasus ini akan terus berlanjut ke tahap penyidikan lanjutan. “Ini baru babak awal dari proses hukum yang mungkin masih panjang,” tambahnya sembari menekankan pentingnya pendampingan hukum yang kompeten bagi tersangka.
Kasus hukum yang menjerat Dahlan Iskan ini tidak hanya menyangkut aspek yuridis semata. Sebagai mantan menteri dan tokoh media ternama, penetapan tersangka ini berpotensi menimbulkan dampak sosial dan politik yang luas. Banyak kalangan mempertanyakan waktu penetapan tersangka yang bertepatan dengan dinamika politik tertentu.
Di sisi lain, proses hukum ini menjadi ujian bagi penegakan hukum di Indonesia. “Kasus ini akan menjadi tolok ukur apakah hukum bisa ditegakkan secara adil tanpa memandang status sosial pelaku,” Pungkas Prof Bowo.

