Kemenangan Hukum PT SCA di PN Mojokerto Patahkan Penyidikan Sepihak

PT SCA Menang Praperadilan
PN Mojokerto menangkan gugatan praperadilan PT SCA, tegaskan Polres Mojokerto tak berwenang menyidik kasus ketenagakerjaan. Kemenangan hukum bagi PHN. Foto: Istimewa
Ruang Nurudin
Ruang Nurudin
Print PDF

Mojokerto, Ruang.co.id – Dalam proses hukum yang menyita perhatian publik, Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto mengabulkan gugatan pra yudisial PT. Surya Cipta Abadi (SCA) terkait perkara ketenagakerjaan yang dilaporkan oleh Hermin Astuti. Dalam putusan sela yang dibacakan pada Senin (19/5), majelis hakim menegaskan bahwa penyidikan oleh Polres Mojokerto terhadap PT. SCA tidak memiliki landasan hukum yang sah. Putusan ini menjadi kemenangan penting bagi PT. SCA melalui tim kuasa hukumnya dari Palenggahan Hukum Nusantara (PHN).

Gugatan ini bermula dari laporan Hermin Astuti atas dugaan pelanggaran ketenagakerjaan yang melibatkan almarhum Feri Dwi Astanto, mantan karyawan lepas PT. SCA. Namun, tim PHN menggugat proses penyidikan tersebut dengan alasan bahwa kasus tersebut seharusnya bukan ranah pidana, melainkan perdata, dan menjadi kewenangan PN Mojokerto, bukan aparat kepolisian.

Achmad Shodiq, SH., MH., M.Kn., kuasa hukum dari PHN menyebutkan bahwa dalil-dalil eksepsi dari pihak Tergugat menunjukkan kurangnya pemahaman hukum. “Kelihatan tim hukum Tergugat dalam dalil-dalil Eksepsinya nampak kebingungan dan panik atas materi gugatan klien kami,” ujar Shodiq, Kamis (10/4), saat memulai aktivitas di kantornya.

Majelis hakim memutuskan bahwa gugatan PHN yang diajukan pada 20 Januari 2025 dan terdaftar pada 2 Februari 2025 sah secara hukum, baik dari segi subjek maupun objek perkara. Dalam eksepsi Tergugat yang menyebutkan bahwa perkara seharusnya ditangani oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), hakim berpendapat sebaliknya, menyatakan bahwa PN Mojokerto adalah lembaga peradilan yang berwenang memeriksa perkara ini.

Baca Juga  Gugatan Pra-Yudisial PT SCA Terhadap Pelapor Kasus Ketenagakerjaan di Polres Mojokerto

Putusan ini memberikan sinyal tegas bahwa tidak semua persoalan hubungan industrial atau ketenagakerjaan dapat langsung dialihkan ke ranah pidana. Dalam konteks hukum positif Indonesia, berdasarkan Pasal 77 KUHAP tentang Pra Peradilan, tindakan aparat penegak hukum dapat diuji jika terdapat dugaan penyalahgunaan wewenang. Hal inilah yang menjadi dasar kuat PHN dalam permohonan mereka.

Dalam pernyataan lanjutan, Shodiq menambahkan, “Sudah jelas eksepsi dalam perkara ini tidak beralasan hukum. Oleh karena itu sudah selayaknya permohonan gugatan kami dikabulkan oleh majelis hakim,” tegasnya, Senin (19/5).

Kasus ini berakar dari konflik santunan yang belum disepakati antara pihak perusahaan dan ahli waris almarhum Feri. Karena merasa haknya tidak dipenuhi, Hermin melaporkan kasus tersebut ke Polresta Mojokerto. Namun, dalam perkembangan proses hukum, pengujian pra yudisial membuktikan bahwa penanganan kasus oleh kepolisian tidak tepat.

Baca Juga  Gugatan Tan Lidyawati di PN Surabaya Tiga Kali Ditunda, Satu Kali Dipertanyakan

“Dengan putusan hakim ini, pihak Hermin jelas tidak bisa melanjutkan keinginannya menuntut perusahaan klien kami. Termasuk proses penyidikan polisi tidak bisa dilanjutkan,” pungkas Advokat yang juga Ketua Dewan Pendiri Persaudaraan Profesi Pengacara Indonesia (P3I) ini.

Dengan putusan sela ini, masyarakat diingatkan akan pentingnya pemahaman batas kewenangan institusi hukum. Penyelesaian perkara ketenagakerjaan idealnya ditempuh melalui jalur perdata atau lembaga hubungan industrial, bukan langsung ke proses pidana yang dapat mencederai keadilan substantif.

Ke depan, sidang akan berlanjut ke tahap pembacaan replik dari penggugat. Namun, putusan sela ini telah memberi preseden penting bahwa mekanisme pra yudisial bisa menjadi alat hukum efektif untuk melindungi hak hukum korporasi maupun individu dari tindakan penyidikan yang keliru.