Ruang.co.id – Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi proyek Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU) Lamongan di Pengadilan Tipikor Surabaya semakin menguak fakta-fakta mencengangkan. Perkara bernomor register 72/Pid.Sus-TPK/2025/PN Sby ini justru membuktikan adanya indikasi kuat kriminalisasi terhadap Wahyudi, seorang pejabat pensiunan yang didakwa sebagai tersangka. Kamis, (06/4/2025).
Dalam persidangan Kamis lalu, lima saksi yang dihadirkan JPU justru memberikan keterangan berbelit-belit. Raulan (eks PPTK), Izzul Umam (kontraktor pengurukan), Joko Susetyo (staf terdakwa Davis), Ruswiyanto (admin pengurukan), dan Kartika Asianto sama sekali tidak memberikan penjelasan lugas tentang pelaksanaan proyek.
Hakim ketua Ni Putu Sri Indayani secara tegas menyoroti ketidakjelasan ini. “Jangan berbelit-belit. Kasihan Pak Wahyudi yang sudah pensiun harus menanggung beban bukan tanggung jawabnya,” ucapnya dengan nada tinggi. Pernyataan ini semakin menguatkan dugaan bahwa terdakwa sedang difitnah dalam kasus korupsi RPHU Lamongan ini.
Majelis Hakim akhirnya memerintahkan JPU untuk menghadirkan saksi-saksi kunci dalam sidang lanjutan tanggal 10 Juli 2025 mendatang. Beberapa nama yang diminta hadir antara lain Eka (Kepala Bidang RPHU), Asna (Pejabat Pengadaan), Rio (konsultan), dan Joko. Mereka akan dikonfrontasi untuk mengungkap kebenaran seputar pelaksanaan proyek kontroversial ini.
Muhammad Ridlwan, kuasa hukum Wahyudi, dengan lantang membongkar ketidaklogisan dakwaan JPU. “Klien saya tidak pernah sekalipun bertemu dengan pelaksana proyek seperti kontraktor atau staf Davis,” tegasnya. Pernyataan Joko Susetyo sebagai staf Davis yang mengaku tidak pernah bertemu Wahyudi semakin memperkuat pembelaan ini.
Ridlwan juga menekankan bahwa kewenangan teknis sepenuhnya berada di tangan Kepala Dinas. “SK penunjukan PPTK, Pejabat Pengadaan, dan tim teknis merupakan wewenang atasan. PPK hanya menjalankan mandat formal,” jelasnya. Argumentasi ini menunjukkan betapa lemahnya dasar hukum menjerat Wahyudi dalam kasus dugaan korupsi RPHU Lamongan ini.
Fakta mengejutkan terungkap ketika Ridlwan memaparkan bahwa sebagian besar dana yang dianggap sebagai kerugian negara ternyata sudah dikembalikan. Rio telah mengembalikan Rp40 juta, Izzul Umam Rp30 juta lebih, Davis Rp150 juta lebih, ditambah temuan audit BPK senilai Rp92 juta lebih. “Dakwaan kerugian negara Rp300 juta menjadi tidak relevan,” tandas Ridlwan.
Yang lebih mencengangkan, tidak ada satu pun bukti yang menunjukkan Wahyudi menerima aliran dana dari proyek ini. “Ini jelas kasus kriminalisasi pejabat. Klien saya menjadi tumbal sistem yang salah,” ungkap Ridlwan dengan nada geram.
Tim hukum telah dua kali mengajukan praperadilan untuk membuktikan ketidakabsahan penangkapan. Mereka berharap majelis hakim bisa melihat kasus ini secara objektif. “Wahyudi adalah contoh pejabat bersih yang profesional. Beliau pantas dibebaskan dari segala tuduhan,” tegas Ridlwan.
Sidang lanjutan yang akan digelar Kamis, 10 Juli 2025. Masyarakat Lamongan khususnya berharap ada keadilan bagi pejabat yang selama ini dikenal jujur ini.