Ruang.co.id – Persidangan kasus dugaan korupsi pembangunan Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU) di Kabupaten Lamongan seperti menguak tabir gurita kejahatan terstruktur. Sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Surabaya hari ini semakin mengerucut pada dugaan keterlibatan aktif Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) dan Tim Teknis sebagai otak pelaksanaan proyek bermasalah ini. Kamis, (18/7/2025).
Fakta persidangan dengan register perkara Nomor: 72/Pid.Sus-TPK/2025/PN Sby justru memunculkan pertanyaan besar. Mengapa Moch. Wahyudi sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang hanya menandatangani dokumen administratif menjadi terdakwa, sementara PPTK Nur Yazid dan Tim Teknis yang mengendalikan operasional proyek masih bebas berkeliaran?
Ridlwan, penasihat hukum Wahyudi, dengan tegas membantah kliennya terlibat dalam skema korupsi. “Seluruh dokumen yang ditandatangani PPK merupakan hasil kerja Tim Teknis dan PPTK yang telah diverifikasi. Jika beliau menolak tanda tangan, justru bisa dianggap melalaikan kewajiban,” paparnya dengan nada getir.
Pengakuan Nur Yazid sebagai PPTK dalam persidangan semakin memperkuat dugaan ini. Ia secara gamblang mengakui tanggung jawab teknis proyek mulai dari pengurukan tanah, pembangunan gedung, hingga pemasangan conveyor berada di bawah kendalinya. “Semua laporan teknis dari Doni dan Asna (Tim Teknis) selalu melalui saya sebelum ke PPK,” ujarnya di hadapan majelis hakim.
Fakta ini diamini oleh dua terdakwa lainnya, Sandi dan Davis, yang mengaku hanya berkomunikasi intens dengan PPTK. “Kami sama sekali tidak pernah berkoordinasi langsung dengan PPK,” tegas Davis dalam kesaksiannya yang mengguncang ruang sidang.
Yang lebih mengejutkan, terungkap bahwa Surat Perjanjian Kerja (SPK) justru ditandatangani di ruang Bidang Kesmavet – jauh dari meja kerja PPK. “Ada dokumen yang ditandatangani tanpa sepengetahuan klien kami, bahkan terdapat indikasi pemalsuan tanda tangan,” beber Ridlwan sambil menunjukkan berkas-berkas bukti.
Hakim Ketua Ni Putu Sri Indayani, SH tampak menyimak dengan cermat. “Jika PPK yang jadi terdakwa, logikanya harus ada penambahan tersangka dari level pelaksana teknis,” tegasnya dengan suara menggelagar. Pernyataan ini seperti membenarkan adanya skema lebih besar di balik kasus ini.
Keterangan Ahmad Arifin dari Jamkrindo Surabaya justru menambah daftar pertanyaan. Meski mengaku proses penjaminan proyek senilai Rp217 juta berjalan normal, tidak ada penjelasan memuaskan tentang alur pengawasan dana proyek. Fakta bahwa tidak ada klaim asuransi yang masuk justru mengindikasikan kemungkinan proyek fiktif.
Sidang yang akan berlanjut dalam waktu dekat ini diprediksi akan semakin panas. Tim pembela Wahyudi bersiap mengajukan eksepsi setelah mengumpulkan bukti-bukti kuat tentang ketidaktahuan klien mereka terhadap praktik teknis proyek. “Kami akan buktikan bahwa PPK hanya korban dari sistem yang dikendalikan PPTK dan Tim Teknis,” tegas Ridlwan penuh keyakinan.
Sementara itu, mata publik tertuju pada Kejaksaan. Akankah mereka berani menjerat aktor-aktor lain yang selama ini bebas dari jeratan hukum? Atau kasus ini akan berakhir dengan tumbal tunggal seorang PPK?

