Sidoarjo, Ruang.co.id ā Tak ada air mata di ruang sidang. Yang ada hanya peluk dan maaf. Itulah wajah hukum baru yang tampak di Sidoarjo saat kasus penggelapan motor oleh M. Wahyu Febriansyah, warga Dusun Jati Agung, Desa Wage, diselesaikan lewat mekanisme Restorative Justice (RJ).
Kasus ini telah masuk P21 di Kejaksaan Negeri (Kejari) Sidoarjo, yang akan disidangkan. Namun Wahyu telah memperoleh keberuntungan keadilan lewat RJ yang diputuskan oleh kejaksaan di lingkungan Jatim.
Wahyu dibebaskan dari jeratan hukum sebelum diadili oleh pihak kejaksaan. Ini berlangsung dalam acara āKunjungan Kerja Kajati Jatim dan Penyerahan Secara Simbolis Surat Ketetapan Penyelesaian Perkara Berdasarkan Keadilan Restoratif atas nama Tersangka Mohammad Wahyu Febri Ardiansyah Melanggar Pasal 362 KUHPā, di Aula Kejari Sidoarjo, Kamis (31/7/2025).
Kasus ini bermula saat Wahyu, anak sulung dari tiga bersaudara dan kedua adiknya laki ā laki dan perempuan mengalami keterbelakangan mental. Wahyu hidup tinggal di sebidang kamar kost, yang ditinggali bersama dua adiknya beserta ibunya yang menderita sakit.
Wahyu diketahui merupakan pekerja percetakan stiker, usaha milik Zainal Arifin. Ia menjual motor milik majikannya yang dipinjamkannya, seharga Rp1,5 juta melalui akun medsos Facebook.
Bukan karena jahat, tapi karena himpitan ekonomi, dua adiknya berkebutuhan khusus dan ibu yang sakit-sakitan membuat Wahyu terdesak gelap mata hatinya.
āPenegakan hukum harus memberikan makna dan manfaat bagi masyarakat di mana hukum itu ditegakkan,ā tegas Dr. Kuntadi, SH., MH., Kepala Kejati Jatim, dalam kegiatan kunjungannya dan pengarahan kepada jaksa di Kejari Sidoarjo, Kamis (31/7/2025).
Dalam ekspose itu disambut hangat oleh Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Sidoarjo Zaidar Rasepta,SH.,MM. beserta jajarannya, yang dihadiri Bupati Subandi dan Wabup Mimik Idayana, beserta Forkompimda Sidoarjo, Kajati menekankan pentingnya pendekatan yang memanusiakan.
āSaya berharap, Kepala Desa (Kades) Wage dan pak Camat Taman, serta masyarakat sekitar, agar dapat menerima Wahyu kembali, supaya dia bisa menjadi tulang punggung keluarga kembali dan menjaga ibunya yang tengah sakit,ā tambahnya.
Restorative Justice tak hanya menyelamatkan Wahyu dari jerat pidana, tapi juga mengembalikan hak Zainal sebagai korban.
āKami memang kecewa, tapi setelah tahu beban hidup Wahyu, saya merasa tak pantas menghancurkan masa depannya,ā kata Zainal dengan suara berat namun tulus.
Bu Mi, tante Wahyu, mengisahkan, āSebelum kerja di percetakan, Wahyu sempat kerja di gudang Trosobo, tapi resign karena tak kuat. Kami hidup pas-pasan. Dua adiknya autis. Ibunya stroke. Dia satu-satunya harapanā.
Wahyu akhirnya mengaku bersyukur saat secara simbolis rompi tahanan merah hati dari Kejari Sidoarjo, saat dilepas oleh Kajati Kuntadi. Lebih dramatis haru lagi, bukan hanya pembebasan hukum yang didapatkan, Wahyu beserta keluarganya mendapatkan bantuan sosial (bansos) sembako dan uang, dari Pemkab. Sidoarjo.
Kebahagiaan haru deru Wahyu makin memuncak saat secara simbolis pula Ia mengenakan baju kerja barunya, mendapatkan pekerjaan sebagai pekerja kebersihan di lingkungan Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kab. Sidoarjo.
āTerima kasih pak Kajati Jawa Timur, terima kasih pak Kajari Sidoarjo, dan terima kasih pak Bupati Sidoarjo,ā ucap Wahyu yang tak kuat menahan derai air mata kebahagiaannya spontan tumpah menetes.
Kisah Wahyu bukan satu-satunya. Data Kejati Jatim mencatat puluhan kasus serupa diselesaikan melalui RJ sepanjang 2024ā2025. Dari pencurian susu oleh anak di Situbondo, penganiayaan ringan di Malang, hingga pemakai narkoba di Mojokerto yang direhabilitasi.
Dalam sistem hukum lama, mereka bisa jadi angka statistik di penjara. Tapi lewat RJ, mereka kembali menjadi bagian dari masyarakat, utuh dan dihormati.
RJ atau Restorative Justice bukan berarti hukum lunak, tapi hukum yang adil, empatik, dan menjawab masalah sosial. Seperti kata Kajati Kuntadi, āHukum harus menyejukkan, bukan menakutkanā.
Di penghujung kisah mengharukan ini, Kajati Kuntadi menutup pesannya, bahwa wajah penegakan hukum yang cenderung kaku di Jatim, harus dirubah secara humanis.
Peristiwa hukum yang terjadi pada Wahyu, menurutnya, merupakan sebuah pembelajaran dan inspirasi bagi seorang jaksa, untuk mengedepankan mata hatinya dalam penanganan perkara hukum. Sehingga pelaku RJ yang dibebaskan dari jeratan hukum, dapat diterima dengan tangan terbuka sedia kala di lingkungan masyarakatnya.

