Ruang.co.id – Persidangan perkara perdata nomor 433/Pdt.G/2025/PN Sby kembali menyita perhatian publik. Di Pengadilan Negeri Surabaya, Widyawati Santoso yang juga dikenal sebagai Kwee Ie Hwee secara tegas menggugat adik kandungnya sendiri, Bambang Husana Kwee. Gugatan ini menyangkut harta peninggalan orang tua mereka, Kok Kwee Quarry Kuotakusuma, yang ditaksir mencapai satu triliun rupiah dan diduga tidak pernah dibagikan secara transparan meskipun wasiat resmi telah lama dibuat.
Dua saksi yang dihadirkan penggugat memberikan kesaksian yang menguatkan dugaan ketidaktransparan pengelolaan warisan. Zujuing, sahabat dekat Widyawati selama puluhan tahun, dengan tegas menyatakan bahwa harta warisan sama sekali belum pernah dibagikan atau dibuka secara resmi kepada seluruh ahli waris. Ia kemudian merinci beberapa aset properti yang termasuk dalam harta warisan tersebut, mulai dari gedung di Balikpapan, beberapa rumah di Surabaya, hingga properti mewah di Jakarta dan Singapura.
Lebih lanjut, Zujuing mengungkapkan bahwa bisnis keluarga yang mencakup kepemilikan kapal dan agen Bir Bintang juga dikelola tanpa adanya transparansi dalam pembagian keuntungan. Kesaksian ini semakin menguatkan posisi penggugat bahwa telah terjadi pembiaran dan kelalaian dalam pelaksanaan wasiat. Saksi kedua, Hani Cahyadi, melengkapi dengan menyatakan upaya mediasi yang selalu menemui jalan buntu.
Hani Cahyadi mengungkapkan fakta hukum yang sangat janggal terkait peralihan kepemilikan salah satu aset keluarga. Ia membeberkan kronologi perpindahan hak milik rumah di kawasan Kertajaya yang beralih nama kepada Arifano Jananto, cucak dari salah satu tergugat. Yang mencurigakan, akta jual beli properti tersebut ternyata dibuat hanya seminggu setelah sang patriark, Kok Kwee Quarry Kuotakusuma, meninggal dunia.
Pertanyaan kritis diajukan mengenai kemungkinan terjadinya transaksi jual-beli dengan pihak yang sudah meninggal. Kejanggalan dokumen ini menjadi salah satu bukti kuat yang dihadirkan penggugat untuk menunjukkan indikasi perbuatan melawan hukum. Temuan ini semakin mengukuhkan dugaan adanya upaya sistematis untuk mengalihkan aset warisan tanpa melibatkan semua pihak yang berhak.
Kuasa hukum penggugat, Albertus Soegeng, secara gamblang memaparkan empat fondasi utama gugatan yang diajukan kliennya. Poin pertama menekankan pada unsur perbuatan melawan hukum karena wasiat yang tidak dijalankan oleh pelaksana wasiat yang sah. Poin kedua mengusung permohonan pembagian mutlak warisan, menyoroti perbedaan porsi waris antara anak laki-laki dan perempuan yang dinilai bertentangan dengan prinsip legitima portie dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Poin ketiga gugatan secara spesifik meminta pengadilan untuk mengganti pelaksana wasiat dari Bambang Husana Kwee kepada Widyawati Santoso. Sementara poin keempat merupakan permohonan sita jaminan terhadap seluruh aset warisan untuk mencegah terjadinya pengalihan atau pemindah-tanganan aset selama proses persidangan berlangsung. Selain keempat pokok gugatan tersebut, penggugat juga menuntut ganti rugi material dan immaterial yang jumlahnya mencapai ratusan miliar rupiah.
Perkara hukum ini mencakup berbagai aset bernilai tinggi yang tersebar di beberapa wilayah. Dokumen gugatan secara rinci mencantumkan saham-saham perusahaan milik almarhum di berbagai kota, tanah dan bangunan di Kertajaya Indah, properti di Manyar Pumpungan, aset tanah di Manado, hingga properti strategis di kawasan Duta Merlin, Jakarta. Keluasan portofolio aset ini mencerminkan besarnya nilai warisan yang disengketakan.
Albertus Soegeng juga mengungkapkan temuan penting mengenai pengakuan ahli waris. Dalam kesaksian di bawah sumpah, tergugat hanya mengakui lima ahli waris, padahal kenyataannya almarhum memiliki tujuh anak kandung. Diskrepansi ini mengindikasikan adanya upaya untuk membatasi pembagian warisan hanya kepada pihak-pihak tertentu. Ia menegaskan bahwa putusan Mahkamah Agung dalam perkara sebelumnya telah menetapkan pembagian warisan secara merata kepada tujuh ahli waris.

