Surabaya, Ruang.co.id – Kasus dugaan korupsi dana hibah kelompok masyarakat (pokmas) dari APBD Jawa Timur (Jatim) tahun anggaran 2019-2022 terus bergulir. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengusut alur pencairan dana yang diduga sarat manipulasi.
Dalam pemeriksaan terbaru, KPK telah memanggil 17 anggota DPRD Jawa Timur periode 2019-2024, termasuk Ketua Badan Kehormatan DPRD Agus Wicaksono, Ketua Komisi C Abdul Halim, dan Ketua Komisi B Alyadi. Mereka dimintai keterangan seputar mekanisme pengajuan, persetujuan, hingga distribusi dana hibah.
Pada Juli 2024, KPK resmi menetapkan 21 orang sebagai tersangka, mencakup anggota DPRD dan pihak eksekutif. Dugaan kuat mengarah pada kolusi dan manipulasi dalam pengelolaan dana yang seharusnya dimanfaatkan untuk mendukung program masyarakat.
Guru Besar Emeritus FISIP Universitas Airlangga, Prof. Dr. Hotman Siahaan, menyampaikan kritik tajam terhadap buruknya tata kelola politik dan pemerintahan di Jawa Timur. Menurutnya, tingginya angka kemiskinan di provinsi ini menjadi bukti lemahnya perhatian pemerintah terhadap masyarakat desa.
“Program era Gubernur sebelumnya, seperti Jalin Kesra dan Jalin Matra, meski tak sempurna, terbukti efektif menekan angka kemiskinan. Saat ini justru banyak anggaran yang tidak tepat sasaran karena korupsi berjamaah,” ujar Hotman.
Ia menambahkan, kasus korupsi dana hibah pokmas mencerminkan rusaknya sistem politik yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi daripada kesejahteraan masyarakat. “Politik telah berubah menjadi mata pencaharian, bukan lagi alat aktualisasi ideologi,” tegasnya.
Dana hibah pokmas yang seharusnya dialokasikan untuk kesejahteraan masyarakat desa, kini menjadi pusat perhatian karena diduga diselewengkan hingga miliaran rupiah. Minimnya perhatian terhadap perangkat desa juga menjadi sorotan, karena banyak kepala desa yang mengeluhkan program provinsi yang tak kunjung menyentuh desa mereka.
Langkah Kusnadi, mantan Ketua DPRD Jawa Timur sebagai justice collaborator diharapkan dapat membantu KPK membuka alur kasus ini secara menyeluruh. “Masyarakat harus melihat bahwa korupsi ini merugikan mereka secara langsung, dan budaya korupsi tidak boleh menjadi tradisi di Indonesia,” kata Hotman.
KPK menegaskan komitmennya untuk mengusut tuntas kasus ini. Operasi tangkap tangan (OTT) Wakil Ketua DPRD Jatim, Sahat Simanjuntak, menjadi awal dari pengungkapan kolusi besar-besaran di tubuh legislatif dan eksekutif.
“Kolusi antara kekuatan politik dan birokrasi menjadi masalah utama. Kasus ini harus dibuka secara terang agar menjadi pelajaran politik bagi masyarakat,” tegas Hotman.
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana publik. Masyarakat berharap KPK segera menyeret semua pihak yang terlibat ke meja hijau untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.