Ruang.co.id – Praktisi hukum ternama Taufan Dzaky Athallah, S.H., memberikan pandangan mendalam tentang keputusan strategis pemerintah dalam memberikan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dan amnesti kepada Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Menurut pakar hukum pidana ini, langkah tersebut bukan sekadar kebijakan hukum biasa, melainkan instrumen rekonsiliasi nasional yang tepat di tengah dinamika politik Indonesia. Sabtu, (02/8/2025).
Dalam penjelasannya yang disampaikan di Surabaya, Taufan menekankan bahwa abolisi sebagai penghapusan akibat hukum putusan pidana dan amnesti sebagai penghapusan pidana seseorang merupakan dua instrumen hukum yang memiliki peran krusial dalam menjaga stabilitas negara. “Kebijakan ini menunjukkan kematangan bernegara dimana kepentingan nasional ditempatkan di atas segalanya,” ujar Taufan.
Taufan Dzaky Athallah memaparkan perbedaan mendasar antara konsep abolisi dan amnesti dengan bahasa yang mudah dipahami masyarakat awam. Dalam kasus Tom Lembong, abolisi diberikan karena tidak ditemukan unsur actus reus atau perbuatan melanggar hukum yang jelas. Sementara untuk Hasto Kristiyanto, amnesti diberikan setelah pertimbangan mendalam bahwa tidak ada mens rea atau niat jahat dalam perkara yang menjeratnya.
“Yang menarik dari kasus ini,” lanjut Taufan, “adalah bagaimana pemerintah dan DPR mampu melihat persoalan tidak hanya dari kacamata hukum semata, tetapi juga dari sudut pandang kebijakan negara yang lebih luas.” Advokat muda ini menjelaskan bahwa dalam sistem hukum Indonesia, abolisi akan menghentikan proses hukum tanpa menghapus fakta perbuatan, sementara amnesti benar-benar menghapuskan pidana seolah perkara tidak pernah terjadi.
Lebih jauh, Taufan Dzaky Athallah mengungkapkan apresiasinya terhadap proses pengambilan keputusan yang melibatkan konsultasi intens antara pemerintah dan DPR RI. Menurutnya, rapat konsultasi pada 31 Juli 2025 yang menghasilkan persetujuan terhadap dua surat presiden ini menunjukkan komitmen bersama untuk menciptakan iklim politik yang kondusif.
“Ketika kita berbicara tentang 1.116 terpidana yang mendapat amnesti, termasuk Hasto Kristiyanto, dan abolisi untuk Tom Lembong, kita sedang membicarakan sebuah lompatan besar dalam rekonsiliasi nasional,” tegas Taufan. Ia menambahkan bahwa keputusan Presiden Prabowo Subianto ini patut diapresiasi sebagai bagian dari upaya penyembuhan luka politik bangsa.
Dalam analisis akhirnya, Taufan Dzaky Athallah memproyeksikan berbagai dampak positif yang mungkin timbul dari kebijakan ini. Pertama, dalam konteks hukum, keputusan ini menjadi preseden baik tentang fleksibilitas instrumen hukum pidana. Kedua, di bidang politik, langkah ini dapat mengurangi polarisasi yang selama ini terjadi.
“Yang perlu kita pahami bersama,” pungkas Taufan, “bahwa hukum tidak boleh dilihat sebagai sesuatu yang kaku. Dalam keadaan tertentu, pertimbangan negara dan kepentingan nasional harus menjadi prioritas.” Pernyataan ini sekaligus menegaskan posisinya sebagai praktisi hukum yang memahami betul dinamika hukum dan politik di Indonesia.

