Sidoarjo, Ruang.co.id – Ancaman nyata dan tindakan represif, Intimidasi, tekanan atau teror, dan penolakan, dengan cara kekerasan fisik, mental dan kejiwaan atau psikis, kembali terjadi atas keselamatan jurnalis dan media jurnalistik di Indonesia. Perlakuan tidak beradab ini selalu muncul di setiap dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hingga dalam pranata sosial masyarakat.
Terahir muncul belakangan, ancaman dan perlakuan buruk dialami Jurnalis TEMPO media grup atas kiriman paket berisi bangkai kepala Babi, dan peristiwa yang mendera dua jurnalis peliput demonstrasi mahasiswa penolakan produk UU TNI di Gedung Negara Grahadi Jawa Timur, di Surabaya. Belum lagi ancaman dan perlakuan buruk yang dialami Jurnalis dan media jurnalistik di daerah masing – masing.
Atas keprihatinan yang mendalam ancaman dan perlakuan buruk terhadap jurnalis dan media jurnalistik, dikupas dalam perbincangan bertajuk Tadarus Jurnalistik yang digelar Forum Wartawan Sidoarjo (Forwas) di Balai Wartawan Sidoarjo, Kamis (27/3), di penghujung suasana Ramadhan 1446 H.
Mantan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Eben Haezer Panca, pemateri Tadarus Jurnalistik ini, menyoroti kondisi Pers di era pemerintahan sekarang. Ia menilai ada kekhawatiran dan keprihatinan dari kalangan jurnalis, media jurnalistik, dan masyarakat sipil terhadap kebebasan Pers yang dilindungi dalam UU Pers No. 40 tahun 1999.
“Pernyataan presiden yang menyebut pers nasional harus mendukung kepentingan negara menjadi tanda tanya besar. Ditambah dengan rencana revisi UU TNI yang memungkinkan intervensi di ranah siber. Bisa jadi, kritik pers dianggap sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara,” ungkapnya.
AJI mencatat ada 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang 2024. Belum lagi ancaman dan perlakuan kekerasan yangenimpa jurnalis di daerah – daerah lainnya yang belum teridentifikasinya. Mulai dari kekerasan fisik, hingga penolakan, ancaman, intimidasi, hingga teror, seperti yang terjadi terhadap media Tempo dan jurnalis peliput demi mahasiswa.
“Seperti Tempo diteror sikap media lainnya akhirnya turut serta mendukung dengan menaikan kejadian tersebut,” jelasnya.
“Solidaritas dan penguatan kapasitas jurnalis menjadi kunci untuk bertahan di tengah kondisi yang semakin kompleks,”tukas Eben.
Ia juga menerangkan, ancaman dan tantangan yang dihadapi jurnalis dan media jurnalistik lainnya, yakni persaingan usaha dan bisnis media komunikasi di era digital. Influencer dan buzzer, hingga teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), sebagai tantangan berat industri media jurnalistik.
Kata kuncinya, Jurnalis harus mampu bersaing dengan influencer dan buzzer yang lebih mudah dikendalikan karena memiliki massa besar. Belum lagi kehadiran AI yang mengancam pekerjaan jurnalis. “Banyak kantor berita melakukan efisiensi akibat AI. Dampaknya, PHK massal terjadi,” pungkasnya.
Ketua Pewarta Foto Indonesia (PFI) Surabaya, Suryanto, sebagai pemateri acara Tadarus Jurnalistik menyoroti tantangan yang dihadapi jurnalis foto saat meliput aksi massa. Ia mencontohkan demo menolak revisi UU TNI di Grahadi, Surabaya.
“Banyak peserta aksi berlindung di balik jurnalis. Ini berisiko tinggi, karena bisa saja jurnalis ikut menjadi sasaran serangan,” ujarnya.
Menurutnya, fotografer jurnalistik harus memiliki strategi mitigasi. Selain memahami teknis pengambilan gambar atau visual dalam situasi berisiko, mereka juga perlu memastikan keamanan alat kerja seperti kamera dan kartu memori.
Ancaman nyata dan tindakan represif, intimidasi, tekanan, atau teror kembali menjadi hal yang mengkhawatirkan bagi keselamatan jurnalis dan media jurnalistik di Indonesia. Hal ini merupakan masalah serius yang harus segera diatasi demi menjaga kebebasan pers dan keberlangsungan demokrasi di negara ini.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah dan lembaga terkait semestinya harus segera bertindak untuk melindungi jurnalis dan media jurnalistik dari ancaman dan tindakan represif sesuai dengan amanah UU Pers No. 40 tahun 1999. Perlindungan hukum harus diberikan kepada jurnalis dan media Jurnalistik untuk memastikan keamanan mereka dalam menjalankan tugas jurnalistik.
Selain itu, kesadaran akan pentingnya kebebasan pers dan perlindungan terhadap jurnalis harus terus ditingkatkan dalam masyarakat.
Dalam konteks ini, dukungan dari masyarakat juga sangat diperlukan untuk melindungi jurnalis dan media jurnalistik dari ancaman dan tindakan represif. Solidaritas dan kepedulian dari semua pihak akan membantu menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi jurnalis untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.
Dengan upaya bersama dari pemerintah, lembaga terkait, masyarakat, dan jurnalis sendiri, diharapkan ancaman nyata dan tindakan represif terhadap keselamatan jurnalis dan media jurnalistik dapat diminimalisir atau bahkan dihilangkan. Hal ini akan membawa dampak positif bagi perkembangan jurnalisme di Indonesia dan menjaga kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi yang sangat penting.