Oleh: Sultoni Fikri
(Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya dan Direktur Eksekutif di Nusantara Center for Social Research)
Ruang.co.id – Ada pepatah Jawa yang berbunyi āAja gumunan, aja kagetan, aja dumehā. Artinya, jangan mudah terkejut, jangan mudah heran, dan jangan merasa lebih tinggi hanya karena sedang berkuasa. Sepertinya, nasihat ini sedang āmengetukā pintu pendengaran para pejabat publik melalui panggung besar yang sedang dimainkan di Kabupaten Pati.
Demonstrasi menuntut lengsernya Bupati Sudewo adalah episode yang menarik sekaligus menyentil. Bukan hanya karena kebijakan PBB-P2 yang naik 250%, itu hanyalah percikan api, karena sikap ātidak gentarā yang justru menyiram bensin ke bara. Mengutip gaya para penjual obat di pasar malam, ājangan tantang kalau tak siap ditebus.ā Ketika pemimpin mengatakan ākerahkan 50.000 orang pun saya tidak akan gentar,ā ternyata rakyat Pati mengambilnya sebagai undangan resmi untuk hadir berbondong-bondong.
Teori kontrak sosial Jean-Jacques Rousseau mengatakan bahwa kekuasaan hanya sah selama ia dijalankan sesuai general will. Begitu pemerintah dianggap menyimpang dari kepentingan rakyat, kontrak itu cacat, dan rakyat berhak menuntut perubahan. Dari sudut pandang teori legitimasi Max Weber, kekuasaan itu bertahan selama ada pengakuan moral dari yang diperintah. Begitu pengakuan itu pudar, kekuasaan hanya tinggal atribut seperti kemeja putih, kendaraan lapis baja, dan pidato di atas pagar yang memisahkan pemimpin dari rakyatnya. Dan pagar itu, meski besi, tidak lebih kuat dari pagar sosial yang sudah runtuh.
Memang benar bupati dipilih secara langsung dan tidak dapat digulingkan hanya karena tekanan massa. Ada mekanisme formal seperti hak angket DPRD, pansus, hingga putusan pemberhentian sesuai undang-undang. Tetapi mari bicara jujur, di negeri ini, mekanisme formal kerap menjadi payung yang baru dibuka ketika hujan sudah turun. Dan hujan di Pati hari ini bukan rintik-rintik, ia badai massa yang memaksa payung itu dibentangkan.
Jika demonstrasi ini berhasil memakzulkan Bupati Pati, ia akan menjadi catatan penting di buku besar demokrasi local, bahwa kekuasaan bukanlah tiket sekali jalan menuju lima tahun aman sentosa. Sebaliknya, ia adalah kontrak kerja yang setiap saat bisa diputus bila āmajikanā (baca: rakyat) menilai pegawainya gagal. Dan apabila pada akhirnya Bupati Pati benar-benar lengser akibat desakan rakyat, peristiwa ini akan menjadi semacam āprasastiā baru bagi politik local. Bukti bahwa people power tidak perlu menunggu 1998 untuk beraksi, dan bahwa jabatan hasil pemilihan langsung pun tetap bersifat by contract. Rakyat bisa mengangkat, rakyat bisa menurunkan. Bukan revolusi, tapi kontrak kerja yang diputus sepihak oleh majikan karena karyawan dinilai tidak perform.
Untuk para pejabat lain yang sedang duduk manis di kursinya, ingatlah bahwa setiap alun-alun bisa berubah menjadi ruang sidang rakyat. Dan suara rakyat, meski tanpa palu sidang, bisa lebih memekakkan telinga daripada ketukan Ketua DPRD.
Lord Acton bilang, āPower tends to corruptā. Rakyat Pati menambahkan catatan kaki yang lebih actual, āKekuasaan yang terlalu lama menutup telinga, akan dipaksa mendengar. Meski lewat suara teriakan dan asap gas air mataā. Singkatnya, jangan sampai kursi Anda nanti ikut bergetar, bukan karena gempa bumi, tapi karena langkah seribu orang yang datang menagih janji.

