Sidoarjo, Ruang co.id – Saat ini aktivitas daftar ulang siswa sekolah terutama yang lolos diterima di SMPN di Sidoarjo, tengah berlangsung. Namun, pemadam rasa kecewa warga Sidoarjo yang lama terbelenggu, kini masih tumpah tak terbendung.
Penerimaan siswa baru sekolah di Sidoarjo masih dinilai buruk. Gelembung angka jumlah penerimaan siswa melebihi Pagu, terkuak grafiknya tampak cukup mencolok.
Padahal, jauh hari tertanggal 19 Maret 2025, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), telah mengingatkan dalam Surat Edarannya (SE), dan mewanti – wanti agar tidak ada kecurangan soal ini.
Tak ketinggalan pula Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK, juga mewanti – wantinya. Agar Penanggungjawab Pendidikan di Sidoarjo, jangan sampai terjadi ada Rasuah atu suap menyuap yang menjadi bagian dari korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Karena dari Laporan Survei Penilaian Integritas Pendidikan Tahun 2024 lalu Jenjang Pendidikan Dasar di Kabupaten Sidoarjo, dalam pengawasan rentan terjadinya KKN.
Hasil surveinya menguatkan kekhawatiran, yang menunjukkan bahwa indikasi perlakuan khusus dalam penerimaan siswa di Sidoarjo mencapai 73%, di atas rata-rata nasional.
Amanah sistem penerimaan itu juga diperkuat dengan Surat Keputusan (SK) Bupati Nomor: 100.3.3.2/ (G2 /438.1.1.3/2025, tentang Petunjuk Teknis Sistem Penerimaan Murid Baru di Kab. Sidoarjo.
Namun, gelembung angka cukup fantastis di tahun ajaran baru 2024/2025 ini masih saja ada. Terdeteksi, penerimaan melalui Jalur Domisili SPMB 2025 SMPN Sidoarjo, dengan perbandingan Pagu Vs Realisasinya. Sedangkan melalui jalur Afirmasi, Prestasi, dan Mutasi siswa, masih tersimpan rapi tak terdeteksi di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Sidoarjo.
Data Dinas Pendidikan Sidoarjo, pagu yang telah ditetapkan untuk jalur Domisili, sebanyak 5.937 kursi Siswa. Namun dalam pelaksanaannya, realisasi penerimaan melonjak hingga 6.575 siswa, atau terdapat kelebihan sebesar 638 kursi di luar pagu yang ditetapkan secara resmi.
Tercatat pula, penggelembungan penerimaan siswa rata – rata di angka 142 hingga 176 jumlah siswa dan yang tertinggi ada di SMPN Kec. Prambon dan Tarik. Sedangkan berdasarkan angka Pagunya, kisaran dari 87 hingga rata – rata 144 siswa.
Analis data, pemerhati pendidikan pun ikut angkat bicara. “Gelembung angka jumlahnya itu sudah lama ada di setiap penerimaan siswa baru,” begitulah sorotan tajamnya.
Gelembung Angka ‘Titipan’ SPMB Rugikan Publik Sidoarjo
Sorotan tajam datang dari Badrus Zaman, aktivis 98 yang juga Analis Data dan Ketua Serikat Nelayan NU (SNNU) Sidoarjo yang Mei kemarin belum lama dilantik.
Menguapnya angka fantastis siswa baru dari perbedaan antara Pagu dan realitas data angka siswa yang lolos diterima, sebenarnya sudah lama terjadi di lingkungan Dinas Pendidikan Kab. Sidoarjo.
“Setiap SPMB, kami punya data detail angka – angka penguapannya. Kalau di total semua sekolah jumlahnya lumayan fantastis yang nitip siswanya. Saya rasa ini bukan sekadar fenomena, mungkin sudah terbiasa di Kabupaten Sidoarjo,” tukas Badrus.
Ia menganalisa, bukan menuduh, tengara gelembung angka itu, tidak mungkin ‘titipan siswa’ ini yang dapat berpotensi transaksi uang di bawah tangan sebagai imbalan, dan merupakan sirkel sebuah orkestrasi dengan pihak – pihak lain.
“Sudah bukan rahasia umum lagi, temuan kami dari data gelembung angka di setiap PPDB ibarat sebuah orkestrasi. Berpotensi dipantau serius KPK. Inilah fakta potret pendidikan di Sidoarjo yang tak bisa disembunyikannya,” ungkapnya.
Ibarat sebuah gejala penyakit turun temurun, Dr. Hasan Ubaidillah, Akademisi Univ. Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) juga turut menyoroti tajam.
Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) tahun 2025 di jenjang SMP Negeri Kabupaten Sidoarjo, menurutnya menunjukkan sebuah anomali administratif yang patut mendapat perhatian serius dari perspektif kebijakan publik.
“Fenomena ini tidak sekadar persoalan teknis administratif. Tapi mencerminkan adanya ketidaksesuaian antara perencanaan kebijakan dengan pelaksanaan di lapangan,” tegas Obet, sapaan akrabnya.
Dalam konteks manajemen kebijakan publik, menurutnya, ini menandakan lemahnya fungsi implementasi, pengawasan, dan akuntabilitas dari kebijakan yang seharusnya berjalan dengan prinsip transparansi, keadilan, dan kesetaraan akses.
Kelebihan jumlah penerimaan menimbulkan sejumlah konsekuensi seriusBer, yakni Berpotensi menurunnya kualitas layanan pendidikan. “Karena ruang kelas, guru, dan fasilitas tidak didesain untuk kapasitas siswa yang melebihi pagu,” jelasnya.
Terulang Munculnya rasa ketidakadilan dan lemahnya kepercayaan publik. “Karena warga mempertanyakan, mengapa beberapa siswa dapat diterima di luar pagu sementara yang lain tidak,” tukasnya.
Yang tak kalah pentingnya menurut Ubaidillah, ditengarai potensi praktik penyalahgunaan wewenang, melalui manipulasi domisili atau surat keterangan tidak berdasar.
“Selain itu, juga dapat merusak kepercayaan publik terhadap integritas sistem zonasi yang kini berganti sistem domisili, dan keadilan akses pendidikan,” tandasnya.
Sedangkan temuan hasil angka survei KPK, telah menunjukkan adanya asimetri informasi, di mana publik tidak memperoleh akses penuh terhadap dasar pengambilan keputusan penerimaan di luar pagu.
Selain itu, tidak adanya komunikasi publik dan akuntabilitas vertikal dari pelaksana kebijakan memperburuk persepsi masyarakat terhadap sistem.
“Hemat saya, diperlukan pendekatan kebijakan yang lebih progresif untuk menjawab tantangan ini,” ujarnya lagi.
Dijelaskan oleh dosen manajemen Umsida ini, dibutuhkan sistem verifikasi domisili yang ketat dan berbasis data Dukcapil (Kependudukan dan Catatan Sipil). Penetapan buffer kuota resmi (misal 5-10%) untuk kondisi darurat, dengan mekanisme pengesahan formal.
Diperlukan Audit sosial melalui partisipasi komite sekolah dan warga. Dan terahir, butuh transparansi penuh terhadap data pagu dan realisasi penerimaan melalui platform digital yang dapat diakses publik Sidoarjo.

