Ruang.co.id – Pengadilan Negeri Surabaya kembali menjadi sorotan tajam publik setelah menangani perkara perdata bernomor 710/Pdt.G/2024/PN Sby yang dinilai mengandung kejanggalan hukum serius. Kasus ini menyedot perhatian karena mencuatkan pertanyaan mendasar tentang konsistensi penegakan hukum di lingkungan peradilan Indonesia, khususnya dalam penerapan asas pembuktian perdata. Selasa, (29/4/2025).
Tan Lidyawati Gunawan selaku penggugat mengklaim telah menitipkan sejumlah barang berharga termasuk sertifikat properti dan mobil kepada menantu serta cucunya. Namun yang membuat dunia hukum bergidik, gugatan ini sama sekali tidak dilengkapi dengan alat bukti sah yang menunjukkan pernah terjadi penyerahan barang secara fisik. Padahal dalam sistem hukum perdata yang menganut asas pacta sunt servanda, klaim semacam ini harus dibuktikan secara konkret.
Xavier Nugraha SH, kuasa hukum para tergugat, dengan tegas menyatakan bahwa gugatan ini cacat formil sejak awal. “Dalam hukum perdata khususnya perjanjian penitipan yang bersifat riil menurut Pasal 1697 KUHPerdata, tidak ada tempat untuk klaim lisan tanpa bukti fisik,” ujarnya dengan nada prihatin. Pernyataan ini diperkuat oleh ahli hukum perdata ternama, Dr. Lintang Yudhantaka SH MH yang secara khusus dihadirkan dalam persidangan.
Salah satu aspek paling mencengangkan dalam kasus ini adalah pengakuan Ng. Winaju selaku salah satu tergugat. Ia menyatakan dengan yakin bahwa sang ibu mertua tidak sepenuhnya memahami kandungan gugatan ini. “Saya pernah mendengar langsung beliau berencana mencabut gugatan ini,” ungkap Winaju dengan raut wajah penuh kebingungan. Pernyataan ini semakin menguatkan spekulasi adanya pihak ketiga yang mungkin memanfaatkan kondisi penggugat untuk kepentingan tertentu.
Kasus ini tidak bisa dipandang sebelah mata mengingat rekam jejak PN Surabaya yang baru-baru ini membuat putusan kontroversial dalam perkara pidana bernomor 454/Pid.B/2024/PN Sby. Putusan yang sempat mengguncang dunia hukum tersebut akhirnya dikoreksi oleh Mahkamah Agung melalui register Nomor 1466 K/Pid/2024. Para pakar hukum khawatir, jika pola putusan serupa terulang dalam perkara perdata ini, bisa menimbulkan efek domino yang merusak sendi-sendi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.
Menjelang pembacaan putusan, sorotan tajam tertuju pada majelis hakim yang menangani perkara ini. Masyarakat hukum berharap agar pertimbangan putusan benar-benar berdasar pada fakta hukum yang terang dan bukti yang sah. Sebagaimana ditegaskan banyak pengamat, putusan yang mengabaikan asas pembuktian dalam hukum perdata tidak hanya merugikan para tergugat, tetapi lebih jauh lagi akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia.
Kasus ini seharusnya menjadi momentum introspeksi bagi PN Surabaya. Lembaga peradilan dituntut tidak hanya mampu menyelesaikan sengketa, tetapi juga harus menjaga marwah hukum itu sendiri. Ketika sebuah pengadilan terlalu sering menghasilkan putusan-putusan yang dianggap “unik” oleh publik, pada hakikatnya sedang mengikis pondasi kepercayaan yang menjadi tiang utama sistem peradilan.

