Sidoarjo, Ruang.co.id – Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Sidoarjo menjatuhkan vonis 3 tahun penjara kepada Hidayatullah, pengasuh sekaligus pemilik Pondok Pesantren (Ponpes) Al Mahdiy di Desa Pagerwojo, Kecamatan Buduran. Hidayat dinyatakan bersalah atas perbuatan pencabulan terhadap seorang santriwati yang masih di bawah umur.
Ketua Majelis Hakim, Bambang Trenggono, menyatakan bahwa terdakwa tidak hanya dijatuhi hukuman penjara selama 3 tahun, tetapi juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp50 juta, subsider 6 bulan kurungan. “Mengadili terdakwa dengan pidana penjara selama 3 tahun serta denda sebesar 50 juta subsider 6 bulan penjara,” tegas Hakim Bambang saat membacakan putusan pada Rabu (8/1/2025).
Hukuman yang dijatuhkan dianggap pantas, mengingat korban masih berusia di bawah 18 tahun dan berada dalam posisi rentan. Kasus ini mencuat setelah terungkap modus yang dilakukan oleh terdakwa pada Desember 2023.
Dari persidangan terungkap bahwa terdakwa Hidayat memanfaatkan posisinya sebagai pengasuh Ponpes untuk memanipulasi korban. Pada malam kejadian, 22 Desember 2023, korban dipanggil untuk memijat terdakwa. Tidak kuasa menolak perintah sang pengasuh, korban yang masih anak-anak tersebut terpaksa mengikuti permintaan itu dengan iming-iming bayaran Rp50 ribu.
Peristiwa ini terjadi di lantai dua Ponpes, saat santri lainnya sedang belajar di lantai bawah. Usai dipijat, terdakwa melakukan tindakan tidak senonoh, menciumi leher dan pipi korban. Aksi ini sempat dipergoki oleh seorang santri lain, namun terdakwa membantah dan mencoba menutupi perbuatannya.
“Yang kamu lihat itu tidak seperti yang kamu pikirkan,” ujar terdakwa saat memberikan penjelasan kepada santri yang memergoki aksinya.
Korban juga diancam agar tidak membocorkan kejadian tersebut, dengan intimidasi bahwa ia akan diadukan kepada orang tuanya atas alasan berperilaku nakal di pondok.
Tekanan dari terdakwa membuat korban akhirnya memutuskan untuk melarikan diri dari pondok pada 19 Januari 2024. Ia kemudian menceritakan kejadian tersebut kepada orang tuanya. Laporan ini akhirnya diteruskan ke pihak berwenang, yang kemudian membawa kasus ini ke meja hijau.
Majelis Hakim menyatakan bahwa tindakan terdakwa telah terbukti melanggar hukum dan merendahkan harkat serta martabat korban berdasarkan seksualitasnya. “Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana seksual terhadap tubuh korban, dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitasnya,” tandas Majelis Hakim.
Selain hukuman pidana, tindakan terdakwa juga berdampak pada institusi Ponpes Al Mahdiy yang ia kelola. Kementerian Agama (Kemenag) sedang mempertimbangkan pencabutan izin operasional Ponpes tersebut. Langkah ini diambil karena perbuatan terdakwa dianggap mencoreng marwah lembaga pendidikan agama, serta memberikan dampak buruk bagi korban dan masyarakat luas.
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya pengawasan ketat terhadap pengelolaan lembaga pendidikan, khususnya pondok pesantren, agar kejadian serupa tidak terulang. Publik kini menunggu langkah tegas dari Kemenag untuk memastikan penegakan hukum dan perlindungan terhadap santri.
DW berharap proses hukum berjalan transparan dan memberikan keadilan. “Ini adalah ujian bagi kita semua untuk membuktikan bahwa hukum benar-benar ditegakkan di negeri ini,” pungkasnya. (DIN)