Sidoarjo, Ruang.co.id — Aroma panas perseteruan antara Bupati Sidoarjo Subandi dan sejumlah anggota DPRD Sidoarjo belum juga reda. Upaya damai yang mungkin digagas atau inisiasi Sekretaris Daerah, Dr. Fenny Apridawati, atau mungkin sebaliknya ada yang memerintahkan, malah memunculkan tafsir baru yang memantik kontroversi. Masyarakat prihatin, politik yang semestinya menjadi ruang aspirasi, justru jadi ajang ego dan saling sindir.
Minggu siang (29/6/2025), surat undangan dengan lampiran deretan nama yang diundang, sudah bocor beredar beberapa jam sebelumnya di ruang percakapan publik Sidoarjo.
Sebuah pertemuan tertutup digelar di sebuah rumah makan di kawasan Larangan, Sidoarjo. Undangan resmi itu berkop Sekretariat Daerah dan ditujukan pada para pimpinan partai dan fraksi DPRD.
Tujuannya, secara tertulis, untuk silaturrahmi bersama Bupati dan Wakil Bupati. Tapi, ketidakhadiran tokoh kunci seperti Wakil Bupati Mimik Idayana ( yang juga Ketua Partai Gerindra Sidoarjo) beserta Fraksi Gerindra, Ketua DPRD Cak Nasik alias Abdillah Nasih (PKB), dan sebagian kecil pimpinan fraksi beserta anggota lainnya, menimbulkan tanda tanya besar.
“Acaranya hanya silaturahmi, saya rasa tidak ada maksud lain, tidak ada pembahasan politik, dan semoga semuanya sudah kembali baik-baik saja,” ujar M. Nizar, Ketua Fraksi Partai Golkar kepada Ruang.co.id.
Namun, ketidakhadiran tokoh sentral dalam pertemuan ini justru menegaskan masih terdapat lebarnya jarak antar pihak. Laksana sebuah puisi “Antara Anyer dan Bekasi”.
Dalam grup percakapan publik WhatsApp, Usman, politisi senior PKB Sidoarjo, menilai langkah Sekda ini bisa dianggap melewati batas.
“Kalau ini dianggap penting, mestinya yang mengundang adalah Bupati sendiri, bukan Sekda. Apalagi undangan ini untuk para ketua fraksi dan parpol,” tulisnya, menyisipkan emotikon permohonan maaf.
Pandangan berbeda disampaikan Sujani, aktivis budaya yang dikenal dengan sebutan Buwas (Bupati Swastanya Sidoarjo).
Ia memandang undangan itu sebagai itikad baik meski disayangkan tetap memicu polemik.
“Kalau memang ini inisiatif Bu Sekda sendiri, saya rasa tujuannya mulia, meskipun wajar jika sebagian pihak merasa tidak pas,” katanya.
Namun, di tengah upaya damai yang justru dipersoalkan, suara hati masyarakat kecil terasa begitu jernih.
Puteri, Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Sidoarjo, menyuarakan kegelisahan generasi muda yang menyaksikan pertikaian ini terus bergulir.
“Yang kami tekankan, baik Bupati maupun DPRD seharusnya fokus pada tanggung jawab mereka, menyejahterakan rakyat. Polemik ini hanya memperlambat pembangunan,” tegas Puteri.
Polemik elite memang sering luput dari rasa. Di balik meja perundingan dan surat undangan bersampul resmi, ada jutaan warga yang menanti kepastian pelayanan, pendidikan yang layak, infrastruktur yang baik, dan lapangan kerja yang nyata. Ketika politik kehilangan empati, rakyatlah yang membayar harga tertingginya.
“Saya hanya ingin melihat Sidoarjo damai. Gak usah cari siapa yang salah, coba saja dua-duanya saling menurunkan tensi. 50 persen saja cukup. Minta maaf dan maafkan,” pungkas Sujani, dengan rasa prihatinnya.
Poin terpenting yang ditekankannta, Rakyat Sidoarjo butuh pemimpin yang legawa, bukan yang larut dalam ego dan gengsi.
Islah bukan soal siapa kalah atau menang, tapi soal siapa yang berani mengutamakan rakyat di atas segalanya. Dengan penghujung harapan masyarakat Sidoarjo, Paripurna yang akan digelar Selasa ini tidak lagi batal dn ditunda lagi.
Setidaknya masyarakat Sidoarjo butuh kepastian jawaban parleman antara diterima atau sebaliknya ditolak atas RPJMD yang dipresentasikan Bupati Subandi waktu lalu di gedung yang sama.