Surabaya, Ruang.co.id – Kasus pengeroyokan yang melibatkan belasan debt collector Bank Nasional Indonesia (BNI) terhadap pengacara Tjetjep Muhammad Yasin pada Senin (13/1) malam menjadi perhatian publik. Peristiwa ini memicu reaksi keras dari Persaudaraan Pengacara Jawa Timur (PPJT), yang menuntut penegakan hukum tegas dan adil.
Dalam konferensi pers yang digelar Kamis (16/1) sore, Ketua Umum PPJT bersama Ketua Dewan Pendiri, Achmad Shodiq, dan Sutomo., mengecam keras aksi kekerasan tersebut. Ketua Umum PPJT, Syarifudin, menegaskan bahwa mereka mendukung penuh proses hukum yang tengah berjalan dan meminta aparat untuk bertindak profesional.
“Kami PPJT mengecam keras atas aksi premanisme ini. Dan, Pak Tjetjep memang merupakan anggota kami. Untuk itu, kami mensupport proses hukum yang sudah berjalan. Begitu juga kepada rekan-rekan yang sudah mengawal proses hukum kasus ini,” tegas Syarifudin.
Ketua Dewan Pendiri PPJT, Achmad Shodiq, mendesak Kapolrestabes Surabaya untuk bertindak cepat dan tegas dalam menangani kasus ini. Ia menekankan bahwa tidak hanya pelaku pengeroyokan yang harus diproses hukum, tetapi juga pihak bank yang memberikan kuasa kepada debt collector.
“Tidak hanya meriksa terhadap para pelaku, tetapi juga bank pemberi kuasa, yang harus bertanggungjawab secara menyeluruh atas aksi premanisme ini. Sehingga dia (pihak bank) bertanggungjawab secara menyeluruh, tidak bisa dibebankan kepada salah satu pihak saja. Jadi, kami meminta pelaku maupun pihak bank yang memberi kuasa juga diperiksa,” ujar Shodiq dengan nada tegas.
Shodiq juga mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang harus menindak tegas segala bentuk kekerasan dan intimidasi. “Negara kita negara hukum, apapun harus diproses secara hukum. Hutang piutang ada prosesnya, tidak semua dilakukan secara bar-bar. Apalagi kondisinya saat itu rekan kami (Pengacara Tjetjep) sedang melerai atau memisah pertengkaran antara pemilik rumah makan dengan debt collector,” tambahnya.
PPJT secara tegas menolak penyelesaian kasus ini melalui pendekatan restorative justice. Mereka berpendapat bahwa langkah ini tidak memberikan efek jera dan berpotensi membuat aksi serupa terulang di masa depan.
“Bukan sekedar proses hukum yang harus terus berjalan, kami juga meminta agar kasus ini tidak diselesaikan dengan restorative justice. Agar aksi premanisme yang dilakukan oleh para debt collector tidak lagi terulang di negeri ini,” imbuh Shodiq.
Selain itu, Shodiq menyoroti pentingnya profesionalisme dalam dunia hukum. Ia menegaskan bahwa tindakan pihak tertentu yang seolah-olah bertindak sebagai advokat tanpa izin resmi merupakan pelanggaran undang-undang.
“Itu harus dipertanyakan, dia berprofesi sebagai advokat atau perusahaan jasa? Mengingat dalam UU Advokat dinyatakan bahwa siapapun yang melakukan tindakan hukum seolah-olah dia advokat, tapi ternyata bukan advokat, maka itu sudah melanggar hukum. Jadi kepolisian jangan membiarkan hal-hal seperti itu, jangan menunggu viral. Kepolisian harus betul-betul tajam dan tegas,” pungkas Shodiq.
Kasus pengeroyokan ini tidak hanya menjadi isu lokal, tetapi juga mencerminkan pentingnya reformasi dalam penanganan kasus-kasus kekerasan yang melibatkan debt collector. Publik menantikan langkah tegas dari aparat penegak hukum untuk memberikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.