Ruang.co.id – Setelah melalui proses persidangan yang panjang dan mendalam, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Surabaya akhirnya menjatuhkan putusan terhadap Davis Maherul Abbasiya. Perkara dugaan korupsi dalam proyek pembangunan Rumah Potong Hewan Unggas di Kabupaten Lamongan ini resmi mencapai titik akhir. Majelis hakim memutuskan vonis pidana penjara selama satu tahun dua bulan kepada terdakwa dalam sidang putusan yang digelar Senin, (29/9/2025).
Putusan ini menjadi penutup dari kasus korupsi proyek RPHU yang sempat menyita perhatian publik luas. Proyek yang seharusnya berdampak positif bagi sektor peternakan lokal justru berujung pada jeratan hukum pidana korupsi. Nama Moch. Wahyudi, mantan Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Lamongan yang saat itu bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen, juga ikut terseret dalam sorotan investigasi penyidikan kasus ini.
Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Lamongan, Widodo Hadi Pratama, sebelumnya menilai telah terjadi penyalahgunaan kewenangan dalam proyek tersebut. Namun, majelis hakim yang diketuai oleh Ni Putu Sri Indayani memiliki pertimbangan yang berbeda dalam amar putusannya untuk perkara nomor 72/Pid.Sus-TPK/2025/PN Sby. Proses hukum yang berjalan telah mempertimbangkan berbagai aspek secara komprehensif.
Majelis hakim membebaskan Davis dari dakwaan Pasal 2, tetapi menyatakannya terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor. Vonis satu tahun dua bulan penjara dan denda biaya perkara Rp7.500 pun dijatuhkan sebagai bentuk pertanggungjawaban hukum. Keputusan ini tidak lepas dari analisis mendalam terhadap nilai kerugian keuangan negara yang terjadi.
Majelis hakim menyatakan bahwa kerugian negara dalam proyek ini bukan sebesar Rp242 juta seperti yang didakwakan dalam proses penuntutan. Pertama, dana sebesar Rp92 juta yang merupakan kelebihan bayar berdasarkan audit BPK telah disetor kembali ke kas negara. Fakta pengembalian dana ini langsung mempengaruhi perhitungan akhir kerugian negara.
Kedua, nilai Rp99 juta yang terkait dengan uji instalasi pengolahan air limbah dinyatakan tidak dapat dijadikan dasar perhitungan kerugian. Hal ini disebabkan perhitungan tersebut hanya berdasar pada diskusi informal, bukan analisa teknis yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Selain itu, pekerjaan taman senilai Rp10 juta terbukti dikerjakan sehingga tidak bisa digolongkan sebagai kerugian keuangan negara.
Dengan demikian, setelah melalui proses verifikasi yang ketat dan cermat, kerugian negara yang sesungguhnya dibuktikan dalam persidangan hanya sekitar Rp41 juta. Penyusutan nilai kerugian inilah yang menjadi salah satu fondasi utama pertimbangan hukum majelis dalam menjatuhkan vonis.
Kuasa hukum terdakwa, Nundang Rusmawan dari kantor hukum Rus & Co, menyambut putusan ini dengan perasaan lega. Ia menyatakan penghormatannya terhadap seluruh proses hukum yang telah dijalani secara profesional. Nundang menilai majelis hakim telah menunjukkan objektivitas dengan mempertimbangkan seluruh fakta persidangan secara komprehensif dan proporsional.
“Putusan ini sesuai dengan apa yang kami sampaikan dalam pledoi. Hal-hal yang meringankan sudah dipertimbangkan, termasuk pengembalian kerugian negara sebagaimana diminta BPK maupun pihak lain. Itu semua sudah dikembalikan,” ujarnya usai sidang berlangsung. Pernyataan ini menegaskan bahwa pihak terdakwa telah memenuhi kewajiban restitusinya secara maksimal.
Nundang menekankan bahwa pengembalian dana tersebut merupakan bukti nyata itikad baik kliennya dalam menyelesaikan masalah hukum ini. Sikap kooperatif Davis selama proses hukum berlangsung juga menjadi pertimbangan yang menguntungkan dalam proses peradilan. Proses hukum ini diakui telah memberikan keringanan hukuman yang signifikan bagi kliennya yang terbukti beritikad baik.
“Proses hukum ini sudah memberi keringanan hukuman bagi klien kami,” pungkasnya dengan penuh keyakinan. Pernyataan ini menguatkan posisi bahwa pengembalian kerugian negara memang menjadi faktor kunci dalam putusan yang diambil majelis hakim dalam mengadili perkara tindak pidana korupsi ini.
Dengan vonis yang telah dijatuhkan, perkara korupsi RPHU Lamongan ini resmi berakhir di meja hijau. Kasus ini memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan program pembangunan daerah. Setiap penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara, sekecil apapun, berpotensi besar berujung pada konsekuensi hukum yang serius meskipun ada itikad baik untuk memperbaikinya.

