Ruang.co.id – Proses pengeluarkan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di sepanjang pantai Sidoarjo seluas 656 hektar kembali menjadi sorotan publik. Meskipun banyak desakan agar masalah ini diusut tuntas, Komisi A DPRD Jawa Timur yang membidangi hukum dan pemerintahan, belum memberikan rekomendasi apapun. Mereka masih menunggu hasil kajian resmi dari ATR BPN wilayah Jawa Timur sebagai lembaga yang berwenang dalam penerbitan sertifikat pertanahan.
Ketua Komisi A DPRD Jatim, Dedi Irwansyah, mengungkapkan bahwa pihaknya membutuhkan penjelasan lebih lanjut dari ATR BPN terkait penerbitan sertifikat HGB di perairan Sidoarjo. Sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam mengeluarkan sertifikat pertanahan, ATR BPN memegang peran penting dalam penyelesaian masalah ini.
“Kita semua tahu lembaga atau dinas yang berkomitmen mengeluarkan sertifikat baik SHM, HGB, dan sebagainya adalah ATR BPN. Tentunya kami akan menunggu penjelasan tentang masalah ini,” ujar Dedi saat ditemui di ruang kerjanya.
Untuk mendapatkan kejelasan mengenai proses penerbitan sertifikat HGB tersebut, Dedi menjelaskan bahwa Komisi A DPRD Jatim berencana untuk mengajukan permohonan rapat dengar pendapat (RDP) dengan pihak ATR BPN Jawa Timur. Langkah ini diambil untuk menggali informasi lebih dalam dan mendapatkan penjelasan terkait prosedur dan status sertifikat HGB yang terbit di kawasan pesisir Sidoarjo.
“Untuk itu, kami akan segera menyusun surat kepada ATR BPN Jawa Timur untuk meminta agar kami dapat melakukan RDP guna membahas masalah ini lebih mendalam,” tambah Dedi.
Dedi juga menjelaskan bahwa permasalahan HGB di atas perairan Sidoarjo sudah berlangsung cukup lama, diperkirakan dimulai sejak tahun 1996-an. Pada awalnya, area tersebut digunakan untuk usaha bagi masyarakat nelayan setempat. Namun, seiring berjalannya waktu, perusahaan-perusahaan besar mulai masuk dan mengelola wilayah tersebut dengan tujuan untuk melakukan reklamasi pantai, yang berujung pada keluarnya sertifikat HGB.
“Awalnya, tempat itu diperuntukkan untuk usaha masyarakat nelayan, tetapi kemudian perusahaan besar masuk dan mulai melakukan reklamasi pantai. Itu sebabnya keluarlah sertifikat HGB di atas tanah yang sebelumnya digunakan oleh nelayan,” ungkap Dedi.
Lebih lanjut, Dedi mengungkapkan bahwa penguasaan tanah di atas pantai bukan hanya terjadi di Sidoarjo, namun juga di beberapa daerah pesisir lainnya di Jawa Timur. Hal ini menambah kompleksitas permasalahan hukum terkait hak atas tanah di wilayah pesisir.
“Di Jawa Timur, penguasaan tanah di atas pantai ini cukup banyak. Tidak hanya di Sidoarjo, di beberapa daerah pesisir lainnya juga banyak yang mengalami masalah yang sama,” katanya.
Fenomena ini, menurut Dedi, juga menjadi perhatian di wilayah lain, seperti di Banten, yang telah memunculkan kasus serupa. Keberadaan sertifikat HGB di daerah pesisir harus dipertimbangkan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan konflik antara pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap tanah tersebut.
Dedi juga mengingatkan para pengusaha yang berniat untuk berinvestasi di sekitar wilayah pantai agar melakukan kajian yang mendalam baik dari aspek kemanfaatannya maupun aspek hukumnya. Hal ini penting untuk menghindari masalah hukum yang bisa muncul akibat pelanggaran terhadap peraturan yang ada.
“Makanya, dengan adanya kejadian ini, teman-teman pengusaha yang akan melakukan atau membuat usaha di sekitar wilayah laut harus benar-benar melakukan kajian baik dari aspek kemanfaatannya maupun aspek hukumnya. Apakah melanggar aturan atau tidak,” tandas Dedi.
Dengan demikian, masalah penerbitan sertifikat HGB di perairan Sidoarjo ini masih terus bergulir dan membutuhkan perhatian serius dari semua pihak yang terlibat, terutama dalam hal kajian hukum dan pengawasan yang lebih ketat terhadap penguasaan tanah di wilayah pesisir.