Ruang.co.id – Pagi yang riuh di peron MRT Jakarta. Arus manusia yang bergerak cepat, sebagian sibuk menatap layar gawai, sebagian lain menggenggam kopi takeaway. Namun, ada satu hal yang tampak berubah, mereka tidak lagi berhenti untuk memindai kode QR. Cukup menyentuhkan ponsel ke mesin pembaca, dan pintu terbuka dalam hitungan detik. Begitu sederhana, begitu mulus. Inilah wajah baru transaksi digital Indonesia: QRIS Tap.
Diluncurkan pada 14 Maret 2025 oleh Bank Indonesia, QRIS Tap merupakan inovasi lanjutan dari sistem QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) yang selama ini telah menjadi tulang punggung pembayaran digital nasional. Berbasis teknologi Near Field Communication (NFC), QRIS Tap memungkinkan proses pembayaran berlangsung hanya dengan menyentuhkan perangkat ke alat pembaca, tanpa perlu membuka aplikasi, memindai kode, atau menunggu konfirmasi yang memakan waktu.
Dalam sejarah sistem pembayaran, perubahan besar kerap terjadi melalui lompatan kecil. Dulu kita beralih dari tunai ke kartu, dari kartu ke dompet digital, dan kini dari scan ke sentuhan. Bagi sebagian orang, QRIS Tap mungkin terasa sekadar perbaikan teknis, namun di baliknya terkandung implikasi sosial-ekonomi yang lebih luas: kecepatan, efisiensi, inklusi, dan transformasi gaya hidup digital masyarakat.
Data dari Bank Indonesia menunjukkan lonjakan volume transaksi QRIS sebesar 154,86% secara tahunan pada April 2025. Hal ini bukan sekadar angka statistik, melainkan cerminan kepercayaan publik terhadap infrastruktur pembayaran digital nasional. QRIS Tap memperkuat ekosistem ini dengan memberikan pengalaman transaksi yang lebih seamless, tanpa hambatan teknis, tanpa friksi.
Menuju Kehidupan Tanpa Uang Fisik
Bayangkan sebuah kota di masa depan: Anda naik bus kota, membeli sarapan di warung kaki lima, membayar parkir di gedung perkantoran, semuanya hanya dengan menyentuhkan ponsel. Tidak ada uang kertas, tidak ada koin, bahkan tidak perlu membuka aplikasi. QRIS Tap berpotensi menjadi pintu masuk menuju masyarakat cashless yang sesungguhnya.
Bagi pelaku usaha, terutama UMKM, kehadiran QRIS Tap tidak hanya mempermudah transaksi, tetapi juga mempercepat pencairan dana. Per Juni 2025, beberapa PJSP seperti BCA telah mulai menerapkan sistem pencairan lima kali sehari, mempercepat arus kas harian para pelaku ekonomi kecil. Ini adalah kemajuan krusial dalam memperkuat daya tahan sektor informal yang selama ini menjadi fondasi ekonomi domestik.
Namun sebagaimana setiap lompatan teknologi, QRIS Tap juga menyisakan sejumlah tantangan. Salah satu yang paling nyata adalah akses perangkat NFC. Tidak semua segmen masyarakat memiliki smartphone dengan fitur ini. Jika tidak diantisipasi secara adil, justru akan muncul ironi: inovasi yang lahir untuk inklusi dapat menjadi alat eksklusi digital baru.
Dari sisi keamanan, transaksi berbasis NFC memerlukan sistem autentikasi yang lebih ketat. Kecepatan transaksi tidak boleh mengorbankan aspek proteksi. Maka, otentikasi biometrik, enkripsi ganda, dan edukasi pengguna menjadi syarat mutlak agar teknologi ini tidak hanya mudah, tapi juga aman dan terpercaya.
Refleksi Menuju Masa Depan
QRIS Tap bukan sekadar fitur baru. Ia adalah refleksi dari arah masa depan sistem keuangan kita: cepat, aman, terintegrasi, dan inklusif. Lebih dari itu, ia juga menantang pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat untuk berani keluar dari zona nyaman untuk mengadopsi inovasi dengan sikap terbuka, kritis, dan siap belajar.
Indonesia hari ini tengah membangun masa depan dompet digital yang bukan hanya bisa digunakan di dalam negeri, tetapi juga lintas negara. Uji coba QRIS lintas batas (cross-border) di Malaysia, Thailand, Jepang, hingga Arab Saudi menjadi bukti bahwa kita tidak ingin sekadar mengikuti arus global, tetapi menjadi pemain utama dalam arsitektur keuangan digital Asia.
Saat kita menyentuhkan gawai dan membayar dalam satu gerakan singkat, kita sesungguhnya sedang menyentuh masa depan.
Profil Dedy Mainata, S.E., M.Ag.
Dedy Mainata, S.E., M.Ag. adalah akademisi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda. Saat ini tengah menyelesaikan studi doktoral pada Program Doktor Perekonomian Islam dan Industri Halal di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Ia meraih gelar Magister dengan dari Universitas di Yogyakarta dan sebelumnya menyelesaikan pendidikan Sarjana Ekonomi Manajemen di Bandung.
Berbekal pengalaman lebih dari dua dekade di sektor industri perbankan dan asuransi, dan telah memainkan peran strategis dalam pengembangan manajemen risiko, inovasi produk, serta transformasi digital lembaga keuangan Islam. Pengalaman tersebut berpadu dengan kiprahnya di dunia akademik yang mendorong kontribusi nyata dalam penguatan literasi ekonomi syariah.
Dalam lima tahun terakhir, ia telah menghasilkan berbagai karya ilmiah berupa artikel jurnal nasional dan internasional terindeks, book chapter, serta buku ajar antara lain āManajemen Risiko Bank Syariahā, āPengantar Perbankan Syariahā āRestrukturisasi Pembiayaanā, āPerbankan Syariah di Era Digital (isu, Tren, dan Transformasi)ā, āManajemen Pemasaran (Konsepsi dan Implikasi)ā, āEkonomi Syariah, Ekonomi Semua Umatā, dan āAnalisis Pembiayaan Bank Syariahā. Selain itu juga aktif sebagai reviewer jurnal bereputasi internasional dan nasional, serta menjadi narasumber diskusi ilmiah tentang fintech syariah dan pengembangan industri halal.
Sebagai reviewer di berbagai jurnal ilmiah bereputasi internasional, Dedy berperan dalam menjaga kualitas publikasi ilmiah di bidang perbankan syariah, fintech Islam, dan ekonomi halal. Ia juga aktif menjalin kolaborasi riset dengan lembaga strategis seperti Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), khususnya dalam mendukung kebijakan dan inovasi industri keuangan syariah nasional.

