Ruang.co.id – Keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi untuk Tom Lembong – dua kasus yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi – telah menimbulkan perdebatan sengit di kalangan ahli hukum. Prof. Dr. Hufron, pakar hukum tata negara Universitas 17 Agustus Surabaya, menyatakan keprihatinan mendalam atas langkah ini. “Ini adalah preseden berbahaya dalam penegakan hukum Indonesia,” tegasnya. Jumāat, (08/7/2025).
Dalam analisis mendalamnya, Prof. Dr. Hufron menjelaskan bahwa secara historis dan konstitusional, amnesti dan abolisi seharusnya hanya diberikan untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan keamanan negara atau delik politik. “Sejak era Orde Lama hingga Reformasi, instrumen ini hanya digunakan untuk kasus seperti DI/TII, Permesta, atau GAM. Tidak pernah untuk korupsi,” paparnya.
Pakar hukum ini menekankan bahwa setelah amandemen UUD 1945, mekanisme pemberian amnesti dan abolisi memang memerlukan pertimbangan DPR. Namun, hal ini justru semakin menguatkan argumentasi bahwa instrumen ini bersifat politis dan tidak tepat untuk kasus pidana biasa seperti korupsi.
Prof. Dr. Hufron menggarisbawahi bahwa korupsi telah ditetapkan sebagai extraordinary crime yang dampaknya jauh lebih merusak daripada kejahatan biasa. “Memberikan amnesti untuk koruptor sama saja dengan mengirim pesan bahwa kejahatan terhadap uang rakyat bisa dimaafkan,” ujarnya.
Kasus Hasto Kristiyanto yang telah divonis 3,5 tahun penjara dan Tom Lembong dengan hukuman 4,5 tahun, menurutnya, seharusnya melalui proses grasi jika ingin diberikan keringanan. “Grasi masih dalam koridor penghormatan terhadap putusan pengadilan, sementara amnesti seolah-olah mengabaikan proses peradilan yang sudah berjalan,” jelasnya.
Yang lebih mengkhawatirkan, menurut Prof. Dr. Hufron, adalah dampak jangka panjang dari keputusan ini terhadap sistem peradilan Indonesia. “Ketika hukum bisa dibelokkan untuk kepentingan politik tertentu, kita sedang menciptakan preseden yang sangat berbahaya,” tandasnya.
Prof. Dr. Hufron juga mempertanyakan mengapa seluruh fraksi DPR dengan mudah menyetujui usulan presiden. “Ini menunjukkan betapa hukum bisa menjadi alat kompromi di tangan kekuasaan,” tambahnya.
Sebagai alternatif, Prof. Dr. Hufron menyarankan penggunaan mekanisme grasi yang lebih sesuai dengan prinsip-prinsip hukum. “Grasi melalui pertimbangan Mahkamah Agung masih menjaga independensi peradilan, berbeda dengan amnesti yang sepenuhnya berada di ranah politik,” paparnya.
Ia juga mengingatkan bahwa dalam sejarah Indonesia modern, belum pernah ada presiden yang memberikan amnesti atau abolisi untuk kasus korupsi. “Ini benar-benar preseden baru yang patut diwaspadai oleh semua pihak yang peduli dengan pemberantasan dan penegakan hukum korupsi di Indonesia,” pungkasnya.

