Ruang.co.id – Proses hukum dalam perkara dugaan korupsi RPHU Lamongan mengalami jeda yang cukup mengecewakan bagi pihak terdakwa. Sidang lanjutan yang sedianya akan menjadi momen pembacaan tuntutan atau requisoir harus tertunda. Agenda persidangan untuk perkara nomor 72/Pid.Sus-TPK/2025/PN Sby tersebut rencananya digelar di Ruang Tirta 1 Pengadilan Negeri Surabaya. Penundaan ini secara resmi terjadi karena pihak Jaksa Penuntut Umum atau JPU menyatakan belum siap untuk membacakan tuntutan. Rabu, (27/8/2025).
Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ni Putu Sri Indayani beserta anggota telah hadir dan siap memimpin jalannya persidangan. Namun, jadwal sidang korupsi yang telah ditetapkan tersebut urung dilaksanakan. Hal ini langsung memantik reaksi dari berbagai pihak, terutama kuasa hukum terdakwa. Penundaan sidang pengadilan ini dinilai mengulur waktu dan memperpanjang ketidakpastian hukum.
Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini, Widodo Hadi Pratama, memberikan penjelasan resmi mengenai latar belakang penundaan. Ia menyatakan bahwa proses hukum pidana khususnya korupsi memerlukan koordinasi yang sangat matang. Masih ada proses internal yang harus dilalui, termasuk koordinasi dengan pimpinan mulai dari tim JPU, Pidsus, hingga Kejati. Widodo menegaskan bahwa sistem yang berlaku memang berbasis komando pimpinan.
Alasan mendetail yang diungkapkan adalah sensitivitas penerapan pasal. Perkara ini menjerat dua pasal sekaligus, yaitu Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Kedua pasal ini memiliki ancaman hukuman minimal yang sangat berbeda. Pasal 2 UU Tipikor mengancam dengan hukuman minimal 4 tahun penjara, sementara Pasal 3 hanya 1 tahun. Perbedaan fundamental inilah yang membuat JPU Kejaksaan membutuhkan pertimbangan yang sangat hati-hati dan tidak bisa serta merta ditetapkan.
Dari kacamata penegakan hukum, penundaan ini menyisakan pertanyaan tentang kesiapan jaksa dalam menangani perkara korupsi. Padahal, tahap pembuktian dengan menghadirkan saksi dan ahli dari JPU sendiri telah dinyatakan selesai. Majelis Hakim sebelumnya juga telah memberikan kesempatan yang cukup panjang bagi JPU untuk menyiapkan materi tuntutannya. Tahapan persidangan yang seharusnya linear pun menjadi tersendat.
Faktor koordinasi internal kejaksaan seringkali menjadi alasan klasik yang mengemuka. Namun, di sisi lain, hal ini dapat dipandang sebagai bentuk kehati-hatian dalam menjatuhkan tuntutan hukum yang proporsional. Penerapan UU Tipikor memerlukan ketepatan yang tinggi agar sesuai dengan fakta dan bukti yang terungkap di persidangan. Meski demikian, efisiensi waktu dan kepastian jadwal juga merupakan bagian dari prinsip peradilan yang baik.
Muhammad Ridlwan, SH, selaku kuasa hukum terdakwa Moch. Wahyudi, tidak menyembunyikan kekecewaannya. Ia menilai penundaan ini sebagai sebuah kemunduran dalam proses peradilan yang telah berjalan. Ridlwan menegaskan bahwa dari awal persidangan, tidak ada satu pun fakta yang memberatkan yang dapat dibuktikan oleh JPU. Kliennya secara tegas dinyatakan tidak menerima aliran dana sama sekali atau sepeser pun.
Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa kerugian negara dalam proyek RPHU Lamongan ini konon telah dipulihkan. Terdakwa juga disebut selalu kooperatif selama proses pemeriksaan. Bahkan, kesaksian dari seluruh saksi yang dihadirkan JPU sendiri dinilai tidak ada yang secara gamblang memberatkan posisi terdakwa. Pembelaan hukum yang dibangun justru percaya pada objektivitas fakta persidangan.
Pihak pembela menyatakan keyakinannya bahwa unsur actus reus (tindak pidana) dan mens rea (niat pidana) tidak terbukti sama sekali. Inilah alasan mengapa mereka bahkan tidak menghadirkan saksi meringankan. Mereka berharap majelis hakim dapat memutus perkara ini berdasarkan fakta persidangan dan nurani keadilan yang jernih. Proses peradilan pidana diharapkan tidak hanya mengejar formalitas hukum tetapi juga mampu memanusiakan manusia yang diadili.
Mereka juga mengingatkan bahwa RPHU Lamongan adalah proyek yang bermanfaat dan bukan proyek mangkrak. Berdasarkan keterangan saksi dari bidang keuangan yang dihadirkan di persidangan, proyek ini justru menjadi sumber PAD Kabupaten Lamongan yang signifikan. Hal ini semakin mengukuhkan bahwa tidak ada kerugian negara yang bersifat permanen dalam kasus ini.

