Prof. Dr. Hufron., S.H., M.H.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Ruang.co.id – Setiap 1 Oktober bangsa kita memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Kesaktian Pancasila sendiri tidak semata diukur dari kemampuannya bertahan dalam sejarah, tetapi yang lebih penting adalah kesanggupan kita menurunkan nilai-nilainya menjadi praktik nyata di tengah masyarakat.
Pancasila dapat dipahami sebagai ideologi terbuka, yang fleksibel dan relevan menghadapi dinamika kebangsaan. Menurut Nurcholish Madjid, Pancasila merupakan kesatuan sila yang utuh, berakar pada nilai-nilai Islam dan budaya Indonesia, serta menjadi landasan untuk mengatasi persoalan bangsa dengan mendorong keadilan sosial, demokrasi, dan persatuan dalam kemajemukan. Pandangan ini menegaskan bahwa Pancasila bukan sekadar dokumen formal, melainkan pedoman hidup yang relevan bagi setiap generasi untuk menata kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
Untuk memahami makna hidup Pancasila secara lebih mendalam, mari kita kembali menengok detik-detik kelahiran Pancasila dalam pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945. Bung Karno menegaskan bahwa Pancasila adalah philosophische grondslagāfondasi moral dan filosofis bagi negara merdeka yang hendak dibangun.
Bung Karno menempatkan Pancasila sebagai jiwa yang menuntun arah pembangunan bangsa. Dalam pidatonya, seolah Bung Karno ingin berpesan kepada kita bahwa dasar negara ini tidak cukup hanya dipajang atau dihafal, tetapi harus menjadi panduan bagi setiap cita-cita dan tindakan nyata, sehingga Pancasila benar-benar hidup dalam praktik keseharian bangsa.
Dalam Buku Uraian Pancasila (1977) yang disusun oleh Panitia LimaāMoh. Hatta, Subardjo, A.A. Maramis, Sunario, dan A.G. Pringgodigdoādijelaskan bahwa Pancasila terdiri dari dua lapisan mendasar: fundamen politik dan fundamen moral. Lapisan moral ini, sebagaimana tercermin dalam dasar kemanusiaan, menuntut penerapan nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, hubungan antara pengusaha dan buruh seharusnya tidak sekadar transaksional, tetapi harus diwarnai oleh rasa persaudaraan dan saling menghormati.
Kerangka yang lebih kontemporer datang dari Prof. Moh. Fadli, yang melihat lima sila Pancasila sebagai bangunan yang utuh dan saling terkait. Menurutnya, sila pertama dan kedua berfungsi sebagai landasan moral, menuntun iman, ketakwaan, serta penghormatan terhadap martabat manusia. Nilai-nilai ini menjadi pedoman etis yang harus mengarahkan setiap tindakan warga negara. Sila ketiga dan keempat dipandang sebagai metode kerja: persatuan dan semangat musyawarah menjadi cara kita memecahkan masalah bersama, mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara dengan prinsip kebersamaan. Sementara itu, sila kelima menandai tujuan akhir dari seluruh proses tersebut, yaitu terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan pemahaman bahwa Pancasila bukan sekadar prinsip abstrak, melainkan pedoman untuk bertindak, langkah berikutnya adalah membumikan nilai-nilai tersebut dalam praktik nyata, terutama di ruang strategis seperti perguruan tinggi. Pancasila tidak boleh berhenti sebagai mata kuliah hafalan di bangku kuliah, tetapi sebaliknya Pancasila harus hidup melalui pengalaman belajar yang mendorong mahasiswa untuk benar-benar terlibat.
Sejalan dengan hal tersebut, prinsip pembelajaran aktif menurut Mel Silberman menjadi relevan. Pembelajaran yang paling efektif terjadi ketika mahasiswa benar-benar aktif terlibat. Hanya mendengar ceramah saja tidak cukup ā informasi cepat hilang dari ingatan. Jika mahasiswa melihat dan mendengar, ingatan mereka meningkat sedikit. Namun, ketika mereka mendiskusikan ide dengan teman sebaya, mereka mulai memahami maknanya.
Dalam konteks pembumian Pancasila, prinsip Silberman ini menegaskan bahwa mahasiswa tidak cukup hanya membaca sila atau mendengar penjelasan dosen. Mereka harus:
Mendengar dan melihat nilai-nilai Pancasila dalam teori dan contoh konkret.
Mendiskusikan nilai-nilai tersebut dalam diskusi kelompok (small group discussion, collaborative learning).
Melakukan aktivitas nyata yang berdampak pada masyarakat melalui program Kampus Berdampak, seperti Magang Berdampak, PKM, atau PPK Ormawa.
Mengajarkan dan membimbing rekan atau masyarakat lain tentang nilai yang mereka pelajari, sehingga Pancasila benar-benar hidup dalam praktik, bukan sekadar hafalan.
Teori pembelajaran modern seperti small group discussion, project-based learning, collaborative learning, dan service learning terbukti efektif menanamkan nilai karena mengaitkan pengetahuan dengan pengalaman dan refleksi. Mahasiswa yang belajar musyawarah dalam diskusi kelompok kecil, atau yang bekerja bersama masyarakat dalam proyek berbasis pengabdian, sesungguhnya sedang melatih diri menerapkan sila ketiga dan keempatāpersatuan dan musyawarahādengan tuntunan moral sila pertama dan kedua, dan mengarah pada pencapaian keadilan sosial dalam sila kelima.
Di sinilah kebijakan Kampus Berdampak menjadi ladang subur bagi penerapan Pancasila. Program-program seperti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), Magang Berdampak, PPK Ormawa dan Abdidaya Ormawa, Lomba Inovasi Digital Mahasiswa (LIDM), Pagelaran Mahasiswa Nasional Bidang Teknologi dan Komunikasi (GEMASTIK), hingga Pilmapres dapat menjadi wahana konkret bagi mahasiswa untuk menginternalisasi dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila, sehingga teori dan praktik benar-benar terhubung dalam kehidupan kampus dan masyarakat.
PKM dan LIDM mendorong mahasiswa menciptakan solusi teknologi yang memberdayakan masyarakat desa, menjadi wujud kerja bersama yang memuliakan kemanusiaan. PPK Ormawa dan Abdidaya Ormawa melatih kepemimpinan mahasiswa dalam menyelesaikan masalah sosial melalui dialog dengan warga setempat, menghidupkan semangat musyawarah dan gotong royong. Magang Berdampak mempertemukan mahasiswa dengan dunia usaha dan pemerintahan, membentuk generasi yang memahami bahwa pembangunan harus memajukan kesejahteraan bersama, bukan keuntungan segelintir orang.
Semua kegiatan ini akan lebih bermakna jika disertai refleksi normatif seperti mahasiswa diminta menilai pengalaman mereka melalui kacamata sila-sila PancasilaāBagaimana Ketuhanan dan Kemanusiaan membimbing proyek ini? Bagaimana persatuan dan musyawarah menjadi cara kerja? Apakah hasilnya menambah keadilan sosial?
Membumikan Pancasila melalui pendidikan tinggi adalah agenda strategis untuk menjaga keberlanjutan demokrasi dan negara hukum. Dengan demikian, kita menunaikan pesan Bung Karno pada 1 Juni 1945āmenjadikan Pancasila sebagai pundamen yang memimpin cita-cita dan perbuatanāseraya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Lebih jauh, pemikiran Nurcholish Madjid menegaskan bahwa Pancasila adalah ideologi terbuka, fleksibel, dan relevan menghadapi dinamika nasional dan global. Semoga!

