Analisis Sahlan Azwar Soal Dampak Revolusioner Pemilu Terpisah 2029

Dampak Pemilu Terpisah 2029
Praktisi hukum Sahlan Azwar mengungkap dampak sistem pemilu terpisah 2029 bagi partai politik dan demokrasi Indonesia. Foto: ruangcoid
Mascim
Mascim
Print PDF

Ruang.co.id – Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang pemisahan pemilu mulai 2029 nanti menciptakan gelombang perubahan sistemik dalam demokrasi Indonesia. Sahlan Azwar, SH., S.Pd., M.H., CLA, CRA, Praktisi hukum dari Kota Surabaya, mengungkapkan analisis mendalam tentang implikasi kebijakan kontroversial ini. “Ini bukan sekadar perubahan teknis, tapi potensi revolusi sistem politik kita,” tegasnya. Selasa, (08/7/2025).

Menurut analisis Sahlan Azwar, putusan MK ini menyentuh jantung sistem pemilu Indonesia yang selama ini terbangun. Meski UUD 1945 jelas menyatakan pemilu lima tahunan, pemisahan ini justru mengubah filosofi penyelenggaraan. “Yang berubah adalah mekanisme demokrasi, bukan periodenya,” paparnya. Praktisi hukum ini menjelaskan, Pilpres, Pilkada, Pemilu Legislatif, dan Pemilihan DPD RI yang selama ini menyatu akan berjalan di jalur terpisah.

Dampak pemilu terpisah paling terasa di Senayan. Sahlan Azwar mengungkapkan, partai politik sedang menghadapi badai ketidakpastian. “Sistem paket selama ini adalah comfort zone politik,” ujarnya. Analisis sistem pemilu menunjukkan dua keuntungan utama yang akan hilang: efisiensi biaya pemilu dan pola pemilihan terpadu.

Pemilih Indonesia sudah terbiasa dengan sistem one-day voting dimana mereka memilih semua level pemerintahan sekaligus. “Inilah yang membuat angka partisipasi pemilu kita relatif stabil,” jelas Sahlan. Perubahan sistem dikhawatirkan akan menciptakan political fatigue di kalangan pemilih.

Sebagai ahli Praktisi hukum, Sahlan menekankan pentingnya kesiapan KPU menghadapi perubahan ini. “Jangan sampai kita terjebak dalam krisis legitimasi demokrasi karena ketidaksiapan teknis,” tegasnya. Reformasi sistem pemilu ini harus dibarengi dengan sosialisasi pemilu intensif kepada publik.

Yang menarik, Sahlan menegaskan bahwa hukum tata negara bukanlah sesuatu yang sakral. “Evolusi sistem pemilu adalah keniscayaan untuk menyesuaikan dengan dinamika demokrasi modern,” ujarnya. Namun semua perubahan harus tetap berpegang pada prinsip keadilan pemilu dan kepastian hukum.

Baca Juga  Kontroversi Abolisi Tom Lembong dan Amnesti Hasto: Pakar Hukum Soroti Akankah Keadilan Dipertaruhkan?

Dalam analisis akhirnya, Sahlan Azwar mengingatkan bahwa kualitas demokrasi tidak diukur dari kompleksitas sistem. “Parameter utamanya tetap partisipasi public dan akuntabilitas penyelenggara pemilu,” pungkasnya. Perdebatan pemilu terpisah ini diharapkan bisa menghasilkan sistem pemilu ideal yang mengakomodir semua kepentingan serta Jujur dan Adil.