Mantan Pejabat PU Surabaya Diciduk Kasus Gratifikasi Rp3,6 Miliar, Uang Dikibuli Lewat Investasi

GSP ditahan Kejati Jatim
Kejati Jatim tahan mantan pejabat PU Surabaya terkait kasus gratifikasi Rp3,6 miliar. Foto: ruangcoid
Mascim
Mascim
Print PDF

Ruang.co.id – Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim) berhasil mengamankan mantan pejabat Dinas Pekerjaan Umum (PU) Bina Marga Kota Surabaya, GSP, dalam operasi pemberantasan korupsi yang mengungkap dugaan penerimaan gratifikasi senilai Rp3,6 miliar. Kasus ini menarik perhatian publik karena melibatkan mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang diduga menerima aliran dana tidak wajar selama enam tahun, yakni dari 2016 hingga 2022.

Menurut HB Siregar, Asisten Pidana Khusus Kejati Jatim, penyidik telah mengumpulkan bukti kuat berupa catatan transaksi mencurigakan yang sengaja tidak dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal, peraturan secara tegas mewajibkan setiap penerimaan hadiah atau gratifikasi dengan nilai signifikan untuk segera dilaporkan sebagai bentuk transparansi.

“Penyidik telah mengumpulkan bukti kuat berupa catatan transaksi mencurigakan yang sengaja tidak dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal, aturan mewajibkan setiap penerimaan hadiah atau gratifikasi dengan nilai signifikan harus segera dilaporkan sebagai bentuk transparansi.”  HB Siregar, Asisten Pidana Khusus Kejati Jatim. Selasa, (03/6/2025).

Fakta bahwa GSP tidak melaporkan penerimaan dana tersebut menunjukkan indikasi kuat adanya kesengajaan untuk menyembunyikan transaksi ilegal. Hal ini memperkuat dugaan bahwa gratifikasi yang diterima bukan sekadar pemberian biasa, melainkan terkait dengan jabatan dan wewenang yang dimilikinya saat masih aktif di Dinas PU Bina Marga Surabaya.

Yang membuat kasus ini semakin kompleks adalah metode pencucian uang yang terstruktur. Aliran dana Rp3,6 miliar tersebut pertama kali masuk ke rekening pribadi GSP di Bank BCA. Namun, untuk mengelabui pengawasan, dana itu kemudian diputar melalui instrumen keuangan berupa deposito berjangka dan surat berharga syariah (sukuk).

Penyamaran aset semacam ini termasuk dalam kategori tindak pidana pencucian uang (TPPU), karena memenuhi unsur pengalihan dana haram menjadi aset yang terlihat legal. Pola ini kerap ditemukan dalam kasus korupsi kelas kakap, di mana pelaku berusaha memutus mata rantai audit keuangan agar sulit dilacak oleh otoritas pengawas.

Baca Juga  Peringatan HBA ke-64, Kajati Jatim Mia Amiati Bacakan 7 Perintah Kejagung

GSP terancam hukuman berat karena melanggar dua paket undang-undang sekaligus. Pertama, UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 12B (gratifikasi), Pasal 12C (penggelapan), dan Pasal 11 (penyuapan). Kedua, UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Pasal 3 dan 4.

Kombinasi pasal-pasal ini memberikan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara plus denda miliaran rupiah jika GSP terbukti bersalah. Besarnya nilai gratifikasi dan lamanya periode kejahatan (enam tahun) memperburuk posisi tersangka, karena menunjukkan bahwa pelanggaran dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan.

Saat ini, GSP menjalani masa penahanan selama 20 hari di Rumah Tahanan Klas I Surabaya sejak 3 Juni 2025, berdasarkan Surat Perintah Print-804/M.5/FD.2/06/2025. Tim penyidik masih mendalami kemungkinan keterlibatan pihak lain, mengingat besarnya aliran dana dan lamanya periode kejahatan.

Kasus ini menjadi bukti bahwa praktik gratifikasi dan pencucian uang masih menjadi tantangan serius dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Keberhasilan Kejati Jatim dalam mengungkap kasus ini juga menunjukkan bahwa upaya penegakan hukum semakin diperkuat dengan pendalaman transaksi keuangan yang mencurigakan.

Dengan demikian, kasus GSP tidak hanya menjadi pembelajaran bagi aparatur negara, tetapi juga menjadi sinyal kuat bahwa gratifikasi dan pencucian uang akan berujung pada jerat hukum yang berat.