ruang

Kabinet Prabowo-Gibran 2024: Sahlan Azwar Sebut Terlalu Besar dan Tidak Efektif

Sahlan Azwar praktisi hukum surabaya
Kabinet Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menuai kritik dari Praktisi Hukum Sahlan Azwar terkait ukuran yang dinilai terlalu besar. Sahlan menyampaikan enam poin penting tentang efek negatif dari kabinet gemuk ini.
Ruang redaksi
Print PDF

Surabaya, ruang.co.idPrabowo Subianto resmi dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia di Gedung Nusantara, MPR-DPR-DPD RI, Jakarta. Bersama Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, keduanya memimpin pemerintahan baru dengan kabinet yang diberi nama Kabinet Merah Putih. Namun, kabinet baru ini mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak karena ukurannya yang jauh lebih besar dibanding kabinet pemerintahan sebelumnya.

Dalam Kabinet Merah Putih, terdapat 48 menteri, 56 wakil menteri, dan 5 kepala badan. Komposisi ini jauh melampaui kabinet Presiden Joko Widodo yang terdiri dari 34 menteri dan 17 wakil menteri. Salah satu kritik datang dari pengamat hukum asal Surabaya, Sahlan Azwar, yang menyebut kabinet Prabowo-Gibran sebagai “kabinet gemuk”. Sahlan menyampaikan enam poin kritik yang menyoroti berbagai aspek negatif dari ukuran kabinet yang dinilainya tidak efektif.

Sahlan menilai bahwa dengan merangkul semua kekuatan politik ke dalam pemerintahan, akan sulit terjadi pengawasan efektif yang diperlukan dalam demokrasi. “Jika semua kekuatan politik bergabung dalam pemerintahan, siapa yang akan melakukan kontrol?” ujar Sahlan. Menurutnya, kondisi ini mencederai prinsip check and balance dan justru lebih menyerupai pemerintahan monarki, di mana kekuasaan terpusat tanpa ada pihak yang mengawasi.

Selain itu, Sahlan mempertanyakan efektivitas pemilu yang menghabiskan biaya besar jika semua pihak pada akhirnya berada di pemerintahan. Menurutnya, kompromi politik yang terlalu luas membuat keberadaan pemilu menjadi dipertanyakan. “Kalau semua bisa berkompromi, untuk apa pemilu diadakan?” tambahnya.

Sahlan juga menyampaikan kekhawatirannya terhadap kompromi politik yang terjadi di kalangan elit. Menurutnya, kompromi ini cenderung lebih mengutamakan kepentingan elit politik daripada kepentingan rakyat. “Mereka berkompromi bukan untuk rakyat, tapi untuk mempertahankan kekuasaan,” katanya. Hal ini berpotensi membuat kebijakan yang dihasilkan lebih mengarah pada menjaga stabilitas politik daripada benar-benar mensejahterakan rakyat.

Baca Juga  Tuntaskan Stunting dan Pernikahan Anak, BKKBN Gandeng Polda Jatim

Lebih lanjut, Sahlan menyoroti peningkatan anggaran negara yang harus dikeluarkan untuk menggaji para menteri, wakil menteri, dan pejabat tinggi lainnya. “Lebih dari 50% APBN digunakan untuk menggaji pegawai negeri, termasuk menteri dan wakil menteri. Dengan kabinet yang semakin besar, beban anggaran akan semakin berat,” tegas Sahlan. Menurutnya, hal ini dapat mengurangi kemampuan negara dalam menjalankan program-program yang berfokus pada kesejahteraan rakyat.

Selain itu, Sahlan juga menyoroti adanya potensi tumpang tindih kewenangan di antara kementerian. Salah satu contohnya adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan, yang menurutnya memiliki fungsi yang hampir sama. “Efektivitas pemerintahan bisa terganggu jika tidak ada pembagian tugas yang jelas,” tambah Sahlan.

Dalam kritiknya, Sahlan menegaskan bahwa demokrasi membutuhkan oposisi yang kuat. Tanpa oposisi yang sehat, menurutnya, suara rakyat tidak akan terwakili dengan baik. “Jika semua partai berada di dalam pemerintahan, siapa yang akan menyuarakan aspirasi rakyat dan mengoreksi kebijakan yang keliru?” Sahlan menekankan pentingnya peran oposisi dalam menjaga demokrasi tetap hidup di Indonesia.

Sahlan Azwar memberikan pandangan kritis terhadap susunan Kabinet Merah Putih yang dianggap terlalu besar dan berpotensi menimbulkan tantangan dalam tata kelola pemerintahan. Kebutuhan akan oposisi yang kuat serta mekanisme pengawasan yang efektif dinilai penting untuk menjaga agar pemerintahan tetap berjalan sesuai mandat rakyat dan fokus pada kesejahteraan masyarakat.