Pemisahan Pemilu 2029: Efisiensi Administratif atau Pengkhianatan Konstitusi?

Dampak Pemisahan Pemilu 2029
Putusan MK pisahkan Pemilu nasional dan daerah mulai 2029 menuai kritik. Simak analisis Profesor Sunarno Edi Wibowo, Praktisi hukum, soal risiko konstitusional dan ancaman demokrasi. Foto: Istimewa
Mascim
Mascim
Print PDF

Ruang.co.id – Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja menorehkan keputusan kontroversial dengan memisahkan penyelenggaraan Pemilu nasional dan daerah mulai 2029. Langkah ini mengakhiri sistem Pemilu lima kotak yang selama ini menjadi polemik di kalangan penyelenggara pemilu. Namun, di balik klaim efisiensi biaya dan penyederhanaan proses, muncul gelombang kritik dari para ahli hukum tata negara yang menilai keputusan ini sebagai pelanggaran terhadap roh konstitusi.

Profesor Sunarno Edi Wibowo, Praktisi hukum, menegaskan bahwa putusan MK ini berbenturan langsung dengan Pasal 18 dan 22 UUD 1945. Kedua pasal tersebut secara tegas mengatur prinsip keserentakan dalam pemilihan legislatif dan eksekutif. “Ini bukan sekadar persoalan teknis belaka, melainkan menyangkut konsistensi konstitusi kita sebagai negara hukum,” tegas Sunarno.

Pemisahan jadwal pemilu ini diprediksi akan menciptakan disorientasi politik di tingkat akar rumput. Masyarakat, yang selama ini sudah terbiasa dengan sistem pemilu serentak, berpotensi mengalami kebingungan dalam memahami mekanisme pemilihan yang terpisah. Selain itu, partai politik dipaksa melakukan revisi besar-besaran terhadap roadmap politik mereka yang telah disusun untuk lima tahun ke depan.

Baca Juga  Prof. Hufron Bongkar Dampak Pecahnya Kotak Suara: Demokrasi Dijerat Yuristokrasi?

MK berargumen bahwa pemisahan ini akan menghemat anggaran KPU secara signifikan. Namun, Sunarno mengingatkan bahwa efisiensi administratif tidak boleh mengorbankan prinsip demokrasi. “Kita harus menghitung biaya politik tersembunyi yang mungkin lebih mahal daripada sekadar penghematan anggaran,” ujarnya.

Prof Bowo memperkenalkan istilah ekstrapotitah untuk menggambarkan kekhawatirannya terhadap putusan ini. Istilah ini merujuk pada situasi ketika lembaga yudikatif dinilai telah melampaui kewenangan konstitusionalnya. “Ini bisa menjadi preseden berbahaya bagi sistem checks and balances kita,” paparnya.

Tak hanya itu, Prof Bowo menggunakan analogi kotak Pandora untuk menggambarkan kompleksitas masalah yang mungkin timbul dari putusan ini. “Kita tidak hanya berbicara tentang pemisahan jadwal, tapi juga fragmentasi sistem politik yang bisa terjadi,” jelasnya.

Di akhir analisisnya, Sunarno mengajak semua pihak untuk merenungkan pertanyaan mendasar: “Apakah langkah ini benar-benar memperkuat demokrasi atau justru menciptakan anarki politik?” Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan wajah demokrasi Indonesia di masa depan.