Kisah Pilu Agung Wibowo! Terjepit di Labirin Hukum yang Mengabaikan Fakta Persidangan

Kasus salah tangkap Agung Wibowo
Kisah Pilu Agung Wibowo! Terjepit di Labirin Hukum yang Mengabaikan Fakta Persidangan. Foto: Istimewa
Mascim
Mascim
Print PDF

Ruang.co.id – Pengadilan Negeri Sidoarjo menjadi panggung drama hukum terbaru ketika Agung Wibowo, terdakwa kasus dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), dengan lantang menyatakan diri sebagai korban salah tangkap. Dalam sidang lanjutan Rabu (9/4/2025), suara Agung gemetar menuntut keadilan. Ia menilai Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan penyidik telah mengabaikan fakta persidangan, bahkan menerapkan pasal keliru sejak awal.

“JPU sengaja membutakan diri dari kebenaran,” tegas Agung dalam pledoi yang dibacakannya. Pernyataan ini bukan sekadar pembelaan, melainkan tamparan keras bagi sistem peradilan yang disebutnya “tumpang tindih dan mudah dimanipulasi”.

Agung Wibowo bukan sekadar mengeluh. Ia memaparkan bukti konkret bahwa kasus ini bermula dari sengketa tanah, bukan tindak pidana. Akta perdamaian tripartit antara dirinya, Miftahur Roiyan, dan PT. Kejayan Mas (pimpinan Antony Hartato Rusli) terkait lahan 98.500 m² di Tambakoso seharusnya menjadi penutup masalah. Namun, JPU justru mengubahnya menjadi jerat pidana.

“Ini jelas kekeliruan hukum. Saya pelapor, tapi malah menjadi terdakwa. Yang saya laporkan justru bebas,” ujar Agung, menyoroti paradoks dalam proses penyidikan.

Dalam pembelaannya, Agung Wibowo dan kuasa hukumnya menyingkap kejanggalan serius dalam proses peradilan ini. Mereka menuding kesaksian yang diajukan JPU tidak lebih dari sekadar kabar angin yang diterima dari pihak ketiga, atau dalam istilah hukum dikenal sebagai testimonium de auditu, yang seharusnya tidak memiliki kekuatan pembuktian kuat di persidangan.

Lebih memprihatinkan lagi, proses hukum ini ternyata berjalan dengan kewenangan yang tumpang tindih. Penyidikan awalnya dilakukan oleh penyidik pidana umum dari kepolisian, kemudian beralih ke penuntutan oleh jaksa pidana umum, namun anehnya persidangannya justru masuk ke ranah pidana khusus. Ketidakkonsistenan ini menimbulkan pertanyaan besar tentang integritas proses hukum yang dijalankan.

Baca Juga  Oknum Satpam dan Mantan Karyawan Gasak Kabel Tembaga Senilai Rp400 Juta di Pabrik Sidoarjo

Kuasa hukum Agung, Agus Purwono, dengan tegas menyoroti ketidakberesan ini. “Ini ibarat membangun gedung tanpa blue print yang jelas. Proses hukum seharusnya berjalan linear dan transparan, bukan berbelit-belit seperti ini,” ujarnya dengan nada prihatin. Kritik ini semakin menguatkan dugaan bahwa kasus ini dibangun di atas fondasi yang rapuh dan tidak memenuhi standar peradilan yang sehat.

Kejanggalan lain yang terungkap adalah inkonsistensi dalam penanganan barang bukti. Beberapa dokumen penting yang seharusnya menjadi alat bukti justru tidak dihadirkan secara lengkap dalam persidangan. Hal ini semakin mengaburkan kebenaran materiil yang seharusnya menjadi tujuan utama proses peradilan.

Di ujung sidang, Agung tidak hanya meminta pembebasan, tetapi juga pengembalian barang bukti miliknya dan Ayu Anggraini. Ia menantang majelis hakim memutus berdasarkan fakta, bukan tekanan politik.

“Saya yakin pengadilan masih bisa mendengar suara kebenaran,” tandasnya.

Sidang selanjutnya akan menentukan apakah tuntutan 8 tahun penjara + denda Rp1 miliar dari JPU dianggap sah, ataukah hakim berani membatalkan dakwaan yang penuh celah ini.