PTUN Surabaya Babat Sertifikat SHM 27 Tahun: Kalahkan Bukti Negara, Menang Dengan Absen di Persidangan?

sengketa tanah SHM Mojokerto
Jonko Pranoto (kiri) dan pendamping hukumnya membahas putusan kontroversial PTUN Surabaya tentang sengketa tanah SHM di Mojokerto. Foto: ruangcoid
Mascim
Mascim
Print PDF

Ruang.co.id – Pemilik sah tanah seluas 9.460 meter persegi di Desa Duyung, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, Jonko Pranoto, terpukul dengan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya yang membatalkan sertifikat Hak Milik (SHM) miliknya. Padahal, dokumen itu telah diterbitkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) sejak 1997 dan diperoleh melalui proses waris yang sah. Kini, Jonko terpaksa berjuang mengajukan banding sembari mempertanyakan kejanggalan hukum dalam putusan tersebut.

Kasus ini memicu tanda tanya besar: Bagaimana mungkin sertifikat tanah yang telah berdiri selama 27 tahun bisa runtuh hanya berdasarkan gugatan sepihak? Padahal, SHM seharusnya menjadi bukti kepemilikan tertinggi yang diakui negara.

Tanah seluas hampir 1 hektar ini mulanya dimiliki oleh almarhum Halim Sumanto sejak 1997. Setelah Halim meninggal, hak kepemilikan beralih kepada Jonko Pranoto sebagai ahli waris pada tahun 2022 melalui proses notaris yang sah. Selama puluhan tahun, tidak pernah ada gugatan atau klaim dari pihak lain atas tanah tersebut.

Namun, pada 2023, tiba-tiba muncul Antonius Rusli yang mengaku telah membeli tanah tersebut dari seseorang bernama Kasman. Klaim ini semakin rumit karena Kasman disebut-sebut sebagai ahli waris Munajat, yang konon membeli tanah dari Tutik Munawaroh—salah satu penggugat di PTUN. Padahal, tidak ada dokumen kuat yang membuktikan hubungan hukum antara Kasman dengan almarhum Halim Sumanto.

Putusan PTUN Surabaya bernomor 153/G/2024/PTUN.SBY ini menuai protes karena dianggap mengabaikan prinsip keadilan prosedural. Jonko dan kuasa hukumnya, Susanto, menyoroti fakta bahwa penggugat tidak pernah hadir dalam seluruh proses persidangan, baik di pengadilan maupun saat pemeriksaan lapangan.

“Bagaimana mungkin gugatan dikabulkan tanpa adanya kesempatan bagi kami untuk berdebat langsung dengan pihak penggugat?” tanya Jonko dengan nada frustrasi. Ketidakhadiran penggugat seharusnya menjadi alasan kuat untuk menolak gugatan, namun nyatanya PTUN justru memutuskan sebaliknya.

Baca Juga  Kantor Pertanahan Kota Surabaya II Modernisasi Layanan untuk Masyarakat

Selain itu, dasar gugatan hanya mengandalkan Akta Jual Beli (AJB) dan petok D, sementara Jonko memiliki SHM yang diterbitkan negara. Pertanyaan besar muncul: Mengapa dokumen administratif seperti AJB bisa mengalahkan sertifikat resmi dari BPN?

Kasus Jonko bukan sekadar persoalan individu, melainkan preseden berbahaya bagi sistem kepastian hukum properti di Indonesia. Jika SHM yang telah puluhan tahun bisa dibatalkan begitu saja, kepercayaan masyarakat terhadap sertifikat tanah akan runtuh.

Susanto, sang kuasa hukum, menegaskan: “Ini bisa terjadi pada siapa saja. Pemegang SHM seolah tidak punya perlindungan hukum yang nyata.”

Jonko dan tim hukumnya kini bersiap mengajukan banding untuk membatalkan putusan PTUN tersebut. Mereka juga mendesak pemerintah pusat dan BPN untuk turun tangan, mengingat kasus ini menyangkut integritas sistem pertanahan nasional.

“Kami berharap pemerintahan baru di bawah Prabowo Subianto memperhatikan kasus-kasus seperti ini. Jangan sampai rakyat kecil terus menjadi korban ketidakpastian hukum,” tambah Susanto.

Kisah Jonko Pranoto adalah cerita pilu tentang betapa rapuhnya kepastian hukum properti di Indonesia. Jika putusan ini tidak dikoreksi, ribuan pemegang SHM lain bisa menjadi korban berikutnya.


PTUN mengabulkan gugatan Tutik Munawaroh dan Anifah yang mengklaim tanah berdasarkan Akta Jual Beli, meski Jonko memiliki SHM sah sejak 1997.

Karena penggugat tidak pernah hadir di persidangan, dan SHM—sebagai bukti kepemilikan tertinggi—dibatalkan tanpa klarifikasi mendalam.

Jonko akan mengajukan banding dan mendorong BPN serta pemerintah meninjau ulang putusan ini.